"Sedih, bahagia, kecewa, marah, haru, perasaan seperti itu tak dapat terlihat. Hanya dengan hati semua hal tersebut bisa terasa, karena itu mereka menyebutnya perasaan"
***
Hal terbaik dari hari ini adalah, aku sudah menyelesaikan semua ujian sekolah. Kini aku hanya tinggal menunggu hasilnya keluar, aku sudah bekerja dengan keras selama 3 tahun terakhir, kuharap hasilnya juga sepadan.
Baru keluar dari kelas, aku berpapasan dengannya, tak ingin merasa begitu canggung, aku kemudian melemparkan senyum simpul.
"Bentar, ada yang mau gue omongin" ucapnya, menahanku.
Aku menyetujui ajakkannya, lalu kami duduk di bangku kafetaria sekolah kami. Raut wajahnya nampak lembut, namun aku masih bisa merasakan perasaan sedih dari dirinya.
"Maaf, gue gak seharusnya ngerusak kehidupan lo cuma demi wujudin impian gue" sesalnya dengan nada rendah.
Aku menatapnya dengan terkejut, aku memang masih merasa takut dan sesak jika kembali mengingat hari-hari itu, tapi sungguh, aku sudah memaafkannya.
"Gue gak minta maaf buat bikin diri gue ngerasa lebih baik dan bisa menghindar dari penyesalan. Gue ngelakuin ini demi lo, gue harap dengan permintaan maaf ini, lo bisa ngerasa lebih baik dan ngelupain sedikit aja penderitaan lo karena ulah gue. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat bikin lo merasa lebih baik" ungkapnya, dengan perasaan rendah hatinya.
Aku hanya menghela napas dengan pelan tanpa bisa menjawab ucapannya.
"Saat gue nemuin cara buat bisa menuhin keinginan gue, bahkan gue gak peduli kalau apa yang gue lakuin bakal ngerugiin orang lain atau gak. Gue ngerasa lebih hina dari apapun, gimana bisa gue berpikir kalau cara itu bisa bikin kehidupan gue jadi lebih baik" lirihnya.
Penyesalan, frustasi, kebencian pada diri sendiriā¦ aku melihat emosi-emosi ini berperang dalam dirinya. Aku tak mengira jika dalam hatinya, Tiffany begitu menderita karena perasaan menyesalnya.
"Kamu cantik, kamu juga berprestasi, kamu punya banyak temen, bahkan guru-guru suka sama kamu. Kamu juga punya nenek yang sayang sama kamu, aku tau kamu hebat. Tapi, tif, bukan berarti kamu bisa ngelakuin apapun yang kamu mau, selalu ada harga dari apa yang kamu perbuat. Aku harap kamu cuma ngelakuin hal-hal baik buat wujudin mimpi kamu, pasti selalu ada jalan kalau itu memang takdir kamu" pesanku.
"Gue selalu berusaha lebih keras dari siapapun, gue selalu lebih menderita dari siapapun, gue harus ngelakuin itu semua karena gue gak punya orang tua ataupun uang, gue capek. Karena itu gue milih buat cari jalan pintas, tapi ternyata gue salah" lirihnya dengan mata berair.
Aku berusaha menahan air mataku, aku bahkan bisa tahu jika hidup yang ia jalani tak adil dan sulit. Sepertinya aku memang tak di izinkan untuk membencinya, karena aku yang paling tahu seperti apa rasanya hidup tanpa kedua orang tua.
Tiffany menangis untuk waktu yang cukup lama, yang bisa kulakukan hanyalah tetap berada di sisinya, menemaninya menangis sampai ia bisa merasa lebih baik.
Aku hanya berganti pakaian ketika sampai di rumah, lalu kembali pergi menuju tempat tinggal Naomi.