I ( Everything In My Life )

Liepiscesha
Chapter #50

Proses itu...

"Kami masih sangat muda, kami sangat tidak berpengalaman"

***

Sudah lewat berhari-hari sejak hari itu, tapi Kenzie masih belum menemui ibu kandungnya. Aku bisa sedikit mengerti, keadaannya memang terlalu rumit untuk bisa ia pahami. Kenzie masih terpukul karena kejadian yang menimpanya, entah itu harapan baru, atau rasa kecewa, 10 tahun yang telah dia jalani dengan penuh tekanan dan penderitaan pastinya masih begitu sulit, tak mudah untuk melupakan rasa sakit.

Aku mengenakan midi dress berwarna putih bersih, aku menghampiri laki-laki itu dengan perasaan senang. Tanganku menggenggam sebuket anyelir merah muda.

Ketika jarak kami semakin kecil, aku bisa melihat bahwa Kenzie melebarkan senyumnya, mata kami saling menatap dengan lembut.

"Nih" ucapku, sembari memanjangkan lenganku, menyerahkan buket bunga kepadanya.

Dia menerimanya meski dengan wajah bingung.

"Kenapa tiba-tiba ngasih bunga?" tanyanya dengan polos.

"Aku belajar dari buku, anyelir pink punya arti ketulusan dan rasa hormat" ungkapku dengan riang.

Mendengar penjelasanku, lantas ia tersenyum tipis dan menepuk kepalaku pelan.

"Makasih" ucapnya.

Kenzie menatap dalam bunga tersebut, aku yakin dia memahami arti bunga tersebut dengan baik. Mengingat bahwa aku belajar semua itu darinya, karena Kenzie selalu menyukai semua hal mengenai tanaman dan bunga.

"Kenapa kamu belajar soal tanaman?" tanyaku, aku antusias mendengar jawabannya.

Aku mengikuti langkahnya, kami berjalan menuju tempat tujuan kami.

"Dulu ada orang yang suka tanaman"

"Ibu Mauren?" tanyaku, sembari menggoda.

"Gak tau" balasnya setelah sempat hening untuk beberapa saat.

"Bu Mauren, kan?" godaku lagi.

Kami duduk di alas tipis di atas rumput hijau. Angin bertiup dengan lembut, sejuk menenangkan perasaanku.

"Kamu gimana sama ayah kamu?" tanyaku tanpa menatap wajahnya.

"Udah selesai. Anehnya, tanpa dia harus ngejelasin apapun, aku bisa tau kalau dia bener-bener ngelakuin semua kesalahan itu. Demi semua kekayaan sama kekuasaan, orang itu harus ngebuang istri sama anak tunggalnya. Kenapa dia mati-matian ngejar semua itu" desah Kenzie, ia sedikit menyeringai di akhir kalimatnya.

"Makanya" gumamku menyetujui pikiran Kenzie.

Aku bisa merasakan murungnya perasaan Kenzie. Meski semuanya kini telah berlalu, tapi bagi kami semuanya masih mengganjal di hati.

"Dimana, bu Mauren..." tanya Kenzie dengan ragu.

Aku menatapnya terkejut, kemudian merasa lega dan tersenyum lembut. Tentu saja aku akan menunjukkan jalannya, aku tahu jelas dimana orang yang dia cari berada.

Lusanya, kami membuat janji dan bertemu di dekat toko bunga milik ibu Mauren. Saat ini Kin berjalan bersamaku, ia hendak pergi menemui teman-temannya.

Anehnya, dia masih mengikutiku dengan wajah tak bersalah. Aku menghentikan langkahku dan memandang bingung dirinya.

"Kamu ke arah sana, kan?" tanyaku, sembari menunjuk ke arah berlawanan.

"Deketan lewat sini" kelitnya dengan percaya diri.

Aku mengernyitkan mata, mencurigai tindakkannya. Namun, aku tak ingin melanjutkan perdebatan kami, dan berjalan memisahkan diri darinya.

Sebelum sempat menyapa, aku mendapati Kenzie telah terlebih dahulu memasuki toko bunga seorang diri. Awalnya aku merasa bingung, namun segera membuang perasaan tersebut dan berlari dengan langkah kecil mendekati toko buku.

Dari luar aku bisa melihat kedalam toko bunga melalui jendela besar toko. Kenzie telah berhadapan dengan ibu Mauren, suasana di antara keduanya nampak dingin.

Kenzie menatap ibu Mauren dengan penuh rasa sakit, kecewa, juga perasaan rindu. Begitu banyak tanda tanya dalam dirinya, ia berhadapan dengan ibu Mauren seolah haus akan jawaban dari wanita di hadapannya tersebut.

Lihat selengkapnya