"Buat saja keputusan yang menurutmu harus kamu buat. Orang-orang yang percaya padamu, mereka akan mengikuti jejakmu"
***
Pada hari itu, aku sama sekali tidak mengetahui isi percakapan Ken dan ibu Mauren. Suasana di antara mereka berakhir dengan canggung ketika aku datang. Namun, melihat bahwa Kenzie bersedia menerima undangan makan malam dari ibunya, kurasa semuanya berjalan dengan baik.
Melihat senyum merekah di wajah keduanya, membuatku merasa puas dan turut bahagia. Aku tak meminta Kenzie menceritakan tentang apa yang terjadi kepada mereka hari itu, aku ingin ia memiliki lebih banyak ruang dan waktu untuk dirinya sendiri.
Baru kali ini aku melihat sosoknya yang nampak lembut, matanya berkaca-kaca, sikapnya terlalu tenang. Hatiku pilu, seakan bisa merasakan apa yang ia rasakan.
Aku banyak merenungkan hari ini, aku adalah salah satu orang yang paling berharap bahwa hubungan ibu dan anak di antara keduanya bisa terjalin dengan baik seperti sedia kala. Memaafkan dan menerima bukanlah hal yang mudah bagi sebagian orang, aku bangga bahwa mereka bisa melakukan hal tersebut. Meski 10 tahun telah berlalu, aku merasa bersyukur karena pada akhirnya masing-masing dari mereka bisa menemukan kepingan yang hilang, kini mereka bisa menyatukan kepingan tersebut. Walaupun tak harus menjadi sempurna, tapi apa yang telah mereka dapatkan saat ini adalah sesuatu yang lebih dari berharga.
Dengan kembalinya ibu Mauren dalam kehidupan Kenzie, aku harap kali ini laki-laki itu bisa benar-benar menemukan arti dari kata "Rumah" yang sesungguhnya. Aku yakin, tak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini daripada kenyamanan dan kehangatan sebuah rumah.
Seminggu berlalu, semuanya nampak semakin baik. Ibu Mauren hendak mengunjungi tempat tinggal Kenzie dan Joe, sebab itu aku bergegas ke tempat mereka, membawa banyak keperluan dapur dan lainnya.
Kin menawarkan dirinya untuk membantuku membawa segala barang bawaanku. Hanya butuh 20 menit untuk sampai ke tempat tinggal mereka. Joe menyambutku dengan ramah, namun tidak kepada Kin. Keduanya memiliki hubungan yang kurang baik, hal itu sempat membuatku cemas namun aku bisa menjamin bahwa mereka tak akan berkelahi lagi.
"Wah... bagus juga rumah lu!" seru Kin, dengan santai memasuki ruang tengah.
"Kenapa dia ikut kesini?" tanya Joe, menyinggung.
Aku hanya memberikan senyum pahit, lalu berlalu menuju dapur.
"Ken dimana?" tanyaku.
"Mandi" jawab Joe sembari menatap ke arah kamar mandi.
"Oh" gumamku.
Aku sedikit terkejut melihat kondisi dapur yang cukup berantakan. Sampah makanan menumpuk, begitu juga dengan cucian peralatan masak dan makan. Ada jamur di dalam wadah makanan yang sudah membusuk, seperti sudah berbulan-bulan di abaikan. Sungguh tempat tinggal yang buruk.
"Maaf, Kay. Gak ada yang sempat buat bersihin hal kayak gini disini" sesal Joe, di ikuti perasaan malu.
"Gapapa" balasku, sembari menghela napas berat.
Aku menggulung lengan bajuku, bersiap untuk berkerja. Joe membantuku dengan giat, berbeda dengan Kin yang justru malah berkeliling rumah.
"Kayla, tuan rumahnya gak sediain minuman buat tamu?" sindir Kin, dengan sikapnya yang terus terang.
Joe memejamkan matanya, menahan emosinya, lalu bergegas menuju lemari pendingin dan membawakan sekaleng minuman bersoda kepada Kin.
"Lu mau minum apa?" tanya Joe kepadaku.
"Gausah, makasih" tolakku sembari terkekeh.