Seorang yang pernah dilanda rapuh hingga hampir saja melemah.
Direnggut perih tak berujung hingga serabutan terhuyung.
Diperkosa oleh siksa batin diri sendiri.
Hidup terjalku kini perlahan berganti menjadi mulus bak sebuah lapangan yang baru saja diaspal tanpa cacat.
Hidup yang dulu kunantikan perlahan hadir, mengenalkanku akan banyaknya kisah baru, banyak pribadi dan banyak wajah baru.
Salah satunya dia.
Orang yang ternyata pernah mengisi keceriaan hariku dulu.
.
.
“Selamat pagi Bu guru, selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, aku Cindy, Cindy Park. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Rumahku sangat dekat dari sekolah, hanya beberapa langkah kecil saja. Kalau, hobiku, membaca. Salam kenal semuanya. Terimakasih.”
Aku menundukkan kepalaku, pertanda telah mengucapkan terimakasih dengan penuh rasa syukur karena kepandaianku dalam berbicara tanpa mengeja untuk anak seusiaku sehingga aku tak harus lama-lama berdiri di depan kelas seperti ini.
Wali kelasku bertepuk tangan atas perkenalan yang baru saja kusampaikan. Apakah begitu kerennya aku tadi? Sampai-sampai banyak orang tua murid yang memandangku kagum. Kutengok Mama, Ia mengacungiku ibu jarinya sambil mengucapkan “pintar anak Mama” yang dengan mudahnya kubaca dari bibir miliknya. Aku tersenyum simpul, tak merasa apa yang kulakukan barusan adalah suatu hal yang cukup hebat.
Aku kembali duduk dengan tatapan kagum para siswa dan siswi juga orang tua murid, namun senyumku tak lagi merekah. Aku hanya ikut memandangi mereka dan satu per satu mulai memalingkan wajahnya tak nyaman.
Kurasa hanya satu orang yang sedari tadi sibuk dengan hot wheels nya. Seorang anak laki-laki bertubuh gemuk dengan seragam yang tampak hampir tak muat membalut tubuhnya. Aku tersenyum melihatnya.
Bahkan seruan dari wali kelas kami dihiraukan olehnya. Aku yang masih berdiri, sedang dalam perjalanan menuju kursiku, menghampiri mejanya sejenak. Mengetuk mejanya pelan.
Ia mendongak.
Ku arahkan pandanganku ke arah wali kelas kami yang sedang menunggu reaksi selanjutnya dari bocah ini dan mengarahkan kembali pandanganku padanya.
Ia langsung sadar ketika seruan namanya terdengar dalam seisi kelas.
Ia menjingkat.
Dampaknya, kaki bocah ini terbentur kaki mejanya sendiri.
“Aduh..” rintihnya.
Aku tertawa pelan dan tanpa memerdulikannya lagi, aku mulai berjalan kembali ke kursiku.
“Halo teman-teman semua. Perkenalkan, namaku Devandra. Biasa dipanggil Adek.” Ujarnya terbata.
Seketika mataku membelalak, menatap tajam kearah anak laki-laki yang sedang melakukan perkenalan diri, heran akan perkataan bocah di depan kelasku barusan.
Tak lama, tawa riuh membanjiri seisi ruang kelas dan pinggiran jendela yang dipenuhi oleh orang tua maupun wali murid di kelasku.
“Panggilannya apa sayang, coba diulangi?” Ujar wali kelasku sambil menahan tawanya yang kuyakini akan meledak lagi.
“Adek, Bu Guru.” Jawabnya lugas.
Astaga.
Benar-benar memalukan.
Apakah Ia bangga mengatakan hal barusan sehingga tak menyadari sesuatu yang salah dari perkataannya?
“Maksudnya, nama panggilan sayang, bukan panggilan sayang dari Mama.” Sahut wali kelas kami dan makin membuat riuh seisi kelas.
“Hmm..”
Ia tampak gusar.
Tangannya dan kakinya mulai bergetar.
Kulihat bajunya dibasahi oleh peluh yang terus mengucur.
“Hmm..”
“Devan.” Ujarku pelan
Ia menoleh ke arahku.
Aku masih dengan tatapan tajamku.
“Panggilan ku Devan, Bu Guru.” Jawabnya pada akhirnya.
Ia tersenyum padaku. Pandangannya seakan mengatakan bahwa Ia berterimakasih atas bantuanku barusan. Aku masih menatapnya tajam, berharap Ia segera menyelesaikan kegiatan bodohnya di depan kelas.
Kalian tahu, itu adalah kali pertamaku memanggil namanya.
“Baik, terimakasih Devan. Silahkan duduk kembali.” Ujar wali kelas kami manis.
“Aduh..”
Aku yang masih menatapnya ikut terkejut melihatnya.
Ia tersandung.
Beruntung badannya dilengkapi karet pelindung berupa gumpalan lemak yang terlihat begitu menggemaskan cukup membantunya.
Apa ku bilang tadi?
Menggemaskan?
Ah, menggelikan maksudku.
Seisi kelas kembali tertawa terbahak sedangkan raut gusarlah yang terlihat pada wajahnya.
Tak ada yang menolongnya.
Sama sekali.
Hanya bahakan tawa dan candaan yang terdengar.
Aku yang merasa sangat amat risih langsung berdiri, berjalan kearahnya dan mengulurkan tanganku.
“Bangun.” Ujarku datar.
Ia melihat kearahku.
“Sindy.” Ujarnya terbata.
“Cindy. C bukan S.” Tegasku.
Matanya mulai berkaca mendengar kalimat pendek ku barusan.
Aku menggoyangkan tanganku, bermaksud untuk membuatnya cepat meraih tanganku dan berdiri.
Ia menolaknya.
Berusaha berdiri dengan sendirinya.