“Sini!” Suruhnya ambigu sambil menepuk tempat kosong disebelahnya.
Aku hanya menatapnya gugup.
“Jangan membuatku mengulang apa yang kukatakan, Cindy Park.”
Aku mulai mengikuti instruksinya, mendekatinya, dan diam. Aku bingung. Tak begitu paham instruksinya kali ini.
Aku bahkan merasa tak sanggup untuk duduk disampingnya. Memutuskan untuk duduk di tangga kecil di depan tempat tidur pasien itu. Belum sempat aku bergerak, Ia sudah menggenggam pergelangan tanganku.
“Duduk disini. Di sampingku.” Ujarnya sambil menatapku dalam.
~
Aku terhenyak. Diam tak mengelak.
“Mengapa kita benar-benar menjadi seperti orang asing, hm?” Tanyanya pelan sambil sibuk membaluri tanganku dengan salep.
“Aku tahu, kamu mungkin cukup terkejut dengan banyak perubahan di hidupku..”
Ia memotong kalimatnya, meniup luka di tanganku berharap dapat cepat merasuk ke kulitku atau bahkan menyembuhkannya.
“Namun, tidak begini caranya.” Ujarnya melanjutkan.
Aku masih tetap menunduk. Sama sekali tidak berani membantah atau memastikan raut wajahnya.
“Dan ini..”
“Kamu selalu saja menunduk saat berhadapan denganku.”
“Apa sebegitu muak kah bertemu denganku lagi?” Ujarnya semakin memelan.
Aku terperangah akan pertanyaannya.
Mana mungkin aku muak bertemu dengannya.
Bahkan sebelum memulai hariku tadi, aku memikirkannya.
“Tidak, Pak.” Ujarku pelan.
Ia menghela nafasnya.
“Istirahatlah sebentar disini. Atau pulanglah. Lukamu cukup parah ternyata. Akan kupanggilkan perawat.” Ujarnya sembari berdiri.
“Aaa.. Cindy tidak apa-apa, Pak. Cindy akan membawakan copy an yang Bapak minta tadi sesegera mungkin.” Ujarku menatapnya.
Ia menatapku.
Tatapan itu, kembali dingin.
“Aku tidak suka mengulangi perkataanku lebih dari satu kali.” Jawabnya tegas.
Ia melenggang pergi. Begitu saja.
Aku kembali menghela nafas panjangku.
Bodoh.
Selalu terlihat bodoh di mata orang yang dulu kau anggap bodoh.
Menyedihkan sekali kau, Cindy Park!
“Satu lagi..”
Aku menatapnya.
”copy an nya, sudah ku kerjakan. Jadi, beristirahatlah. Pergi ke rumah sakit jika bengkaknya masih belum mereda, atau…” begitu Ia memotong kalimatnya, aku memandangnya.
Ia tampak kikuk. Menggaruk pelan belakang kepalanya.
“Mian. (Maaf). Aku terlalu banyak bicara hari ini.” Ujarnya lagi dan melenggang pergi.
Ia meninggalkanku. Sekarang, benar-benar meninggalkan ku. Dahiku mengerut, bingung akan sikapnya padaku hari ini.
.
.
Aku kembali ke ruang kerjaku dengan tangan yang terbalut rapi dengan perban.
“Omo. (Ya Tuhan)”
“Cindy..”
“Astaga, apa ini?”
”Ayo, kuantar ke ruang kesehatan!”
”Cindy, astaga!”
“Apalagi yang kau perbuat, pembuat onar ?!”
Aku berhenti.
Menatap tajam seorang rekanku yang menanyaiku dengan pertanyaan yang sungguh tak layak ditanyakan.
“Apa maksudmu?!” Ujarku sinis.
Ia menyilangkan tangannya di dada.
“Iya, apalagi yang kau perbuat kepada Wakil Direktur? Wajahnya nampak begitu lelah meladeni kebodohanmu setiap hari.” Ujarnya tak kalah sinis.
Aku tertawa.
Ia mengernyit heran akan tawaku.
“Ssttt. Jika tidak tahu apapun, diam adalah hal terbaik yang bisa kau lakukan.” Ujarku sambil mengarahkan tanganku ke arah bibirku.
“Apa ini? Sekarang kau menunjukkan kepada semua orang jika tanganmu sedang sakit namun masih tetap ku rundung? Cih! Yang benar saja!” Ujarnya mendekat kearahku.
Ya Tuhan ada apa dengan wanita ini?
Rasanya gatal sekali tanganku untuk menampar pipinya hingga memar.
“Sudahlah..” ujarku lagi, lelah.
“Whooa, sekarang Cindy Park semakin terlihat tidak berguna.” Jawabnya pelan tepat ditelingaku.
Ia tertawa renyah.
Sedangkan aku?
Diam.
Merenungi perkataannya yang memang benar adanya.
Kutarik perban yang ada pada kedua tanganku, diiringi dengan ringisan para rekan kerja kami, lalu kutarik lengannya.
“Hei! Apa-apaan ini!” Ujarnya tak terima.
Rasa perih di tanganku mendadak hilang.
“Sebaiknya diam sebelum aku menarik rambutmu.” Ujarku penuh penekanan di tiap katanya.
Aku menariknya kearah ruangan seseorang yang Ia sebut-sebut sejak tadi.
Wakil Direktur Utama.
Tulisan itu sudah terlihat di depan mataku.
“Wanita gila ! Kau mau membawaku kemana ?!” Ujarnya nyaris terisak.
Belum sempat aku mengetuk pintu, wakil direktur kami sudah menampakkan wajahnya.
Ia sedikit terbelalak.
Melihat ke arahku yang tengah mencengkeram lengan wanita di sampingku.
“Ada apa ini?” Ujarnya dingin.
Aku melepaskan tanganku.
“Pak Tan, wanita ini gila. Apa dia benar-benar masuk kualifikasi karyawan di kantor kita?” Ujar wanita itu sambil berlindung disamping pria itu, yang tentu saja wakil direktur utama kami.
Aku melihat jelas pria itu mengernyitkan dahinya.
Aku mengepalkan tanganku, menggigit bibir bawahku, aku bahkan menahan tangis kesalku saat ini.
Pria di depanku ini, melihatnya.
“Kembali ke meja mu, dan jangan buat keributan, atau aku bisa saja memecatmu sekarang juga.” Ujar pria itu dingin dengan tatapan tajamnya.
Wanita itu membelalakkan matanya, tak menyangka sebegitu dinginnya atasan yang Ia idam-idamkan itu. Lalu berlari pergi, ketakutan akan ancaman atasannya itu.
Aku masih berdiri dihadapannya.
Kakiku kembali lemas.
Astaga, tidak, jangan sekarang.
Aku terhuyung ke bawah.
Aku tidak melihatnya, namun sorot dinginnya serasa menghunus diriku.
Semakin mengintimidasiku.
“Apa aku harus pergi saja dari kantor ini? Mengapa kau selalu dalam kondisi seperti ini bila bertemu denganku? Aisssshhh!!!”
Ia mengumpat dan meninggalkanku, menutup pintunya dengan keras.
Tak begitu lama, suara pecahan terdengar dari dalam ruangannya.
Aku menahan nafasku.
Aku membuatnya kesal lagi.
Apa benar saran Rachel yang menyuruhku untuk mengundurkan diri?
Dengan takut, aku berusaha untuk berdiri. Aku meringis menahan perih yang baru terasa lagi. Tanganku mengeluarkan darah rupanya.
Bahkan beberapa karyawan yang menyaksikan kejadian ini tidak berani untuk sekedar menolongku karena posisiku berada tepat di depan pintu Wakil Direktur Utama mereka, bahkan mereka yang hendak lewat rela memutar jalan.
Ku ketuk pelan pintunya.
“Pak De..van..” ujarku gemetar.
Suara pecahan itu seketika hilang.
“Masuk.” Suara nya terdengar serak namun masih saja sedingin es batu yang berada di dalam freezer berhari-hari.
Aku membuka pintunya dengan seluruh kekuatanku, namun tidak terbuka.
Astaga dunia ku terasa ingin runtuh sekarang.
Darah yang mengucur tak kunjung berhenti semakin membuatku gusar.
Pintu itu terbuka dan menampakkan wajahnya yang masih saja dingin.
“Kubilang masuk, ya masu..”
Suara itu.
Suara itu yang terdengar terakhir kali sebelum aku kehilangan kesadaranku.
Sepenuhnya.
.
.
Aku mulai membuka mataku perlahan.
Lampu panjang yang terang benderang mulai masuk menembus retinaku.
Tanganku terasa pegal.
Kutengok infus sudah terpasang rapi disana.
Infus?
Ya Tuhan!
Apakah aku sedang berada di rumah sakit saat ini?
Kilasan kejadian siang tadi membuatku sepenuhnya sadar.
Aku berjingkat dari tempat tidurku yang ternyata ikut membangunkan seseorang yang ikut tidur menemaniku.
“Astaga.” Ujarnya kaget.
“Ahh, Pak Tan. Maaf Pak, saya tidak senga..”
“Istirahatlah.” Ujarnya.
“Pak Tan? Bukankah tadi kamu memanggilku Devan? Cih, dasar.” Ujarnya lagi pelan sambil menyunggingkan senyum kecilnya.
Oh, tidak.
Aku tidak pantas mendapatkan senyuman seorang Devandra Tan seperti ini.
Ia menempelkan punggung tangannya ke dahi ku.
Aku menahan nafasku.
Detak jantungku berdetak tak karuan.
“Hmm, masih demam. Istirahatlah. Aku temani.” Ujarnya lagi, sambil memegang sisi tubuhku, memintaku untuk kembali berbaring.
Aku menahan nafasku.
Aku merasa seperti ada kumpulan kupu-kupu tengah mengerubungi perutku saat ini.
“Bernafaslah.” Lagi-lagi Ia membubuhkan senyum di akhir ucapannya.
Aku akhirnya ikut tersenyum, memandangnya.
Ia mengelus pelan rambutku.
“Anak nakal, sudah tahu terluka, bisa-bisanya malah bertengkar seperti tadi.” Ujarnya geli.
Aku mengerucutkan bibirku.
Ia melihatnya, tertegun sesaat.
“Jangan melakukan hal itu.”
Aku mengernyit.
Maksudnya hal apa?
Aku kemudian tersenyum.
“Apalagi ini.” Ujarnya lagi sambil menujuk wajahku.
Aku yang masih bingung, semakin ber ratus lipat kali bingung ketika Ia menyelesaikan kalimatnya sambil menatapku dalam.
“Di depan pria lain, selain di depanku.”
.
.
To be continue ..