“Anak nakal, sudah tahu terluka, bisa-bisanya malah bertengkar seperti tadi.” Ujarnya geli.
Aku mengerucutkan bibirku.
Ia melihatnya, tertegun sesaat.
“Jangan melakukan hal itu.”
Aku mengernyit.
Maksudnya jangan melakukan hal apa?
Aku kemudian tersenyum, hal terbaik yang bisa dilakukan seseorang yang terlalu bingung menanggapi kalimat dari lawan bicaranya.
“Apalagi ini.” Ujarnya lagi sambil menujuk pinggiran bibirku.
Aku yang masih bingung, semakin ber ratus lipat kali bingung ketika Ia menyelesaikan kalimatnya sambil menatapku dalam.
“Di depan pria lain, selain di depanku.”
.
.
.
Aku mengerjap.
Mengapa Ia selalu saja membuat hatiku seperti ini?
Detak jantungku mulai berdetak tak karuan.
Semakin bingung harus melakukan apa dan menjawab apa.
“Apa aku akan disebut sebagai seorang penyihir ketika menghentikan romansa seperti ini?” Ujar seseorang memecah keheningan disertai kekehan lembutnya.
Kami otomatis melihat kearah suara tersebut, tampak seorang wanita yang berbalut jas putih berlogo rumah sakit terbesar di Seoul, mungkin wanita ini adalah salah satu dokter yang menanganiku.
Ia melambaikan tangannya ke arah Devan.
Aku hanya menganggukkan kepalaku, bermaksud menyapanya.
Ia hanya melihat ke arahku, kemudian memalingkan wajahnya kembali ke Devan. Tak ikut membalas sapaanku.
“Kau bahkan belum mengenalkannya padaku.” Ujar wanita itu sambil menyenggol badan Devan.
“Kondisinya? Apa ada masalah? Ia terlalu sering terjatuh beberapa hari belakangan.” Jawab Devan tak menjawab pernyataan wanita itu, masih menatapku.
Aku bahkan merasa Devan tengah mengalihkan topik wanita itu.
Apakah aku tak layak untuk dikenalkan?
Apa Devan sebenarnya tidak menganggapku selayaknya aku menganggapnya lebih?
Astaga!
Memangnya aku ingin dianggap apa?
Aku memukul pelan kepalaku, menarik pandangan khawatir Devan ke arahku.
“Ada apa, hm? Ada yang sakit?” Ujarnya lagi penuh perhatian.
Aku hanya dapat menggeleng pelan.
Yaampun!
Jangan sampai aku meleleh akan perlakuannya padaku!
“Cih! Dasar! Hentikan romansamu di tempat kerjaku, Dev!” Ujar wanita itu sembari tersenyum, menjahili Devan, mungkin?
Sepertinya, wanita ini cukup dekat dengan Devan.
“Baiklah.. Hmm.. Hasil dari pemeriksaan fisik hanya kelelahan saja. Untuk hasil laboratorium akan keluar besok. Istirahat dahulu disini. Jangan lupa makan dan minum beberapa obat yang sudah saya resepkan. Nanti, akan ada suster yang menyuntikkan vitamin dan juga antibiotik. Ada keluarga atau ….”
“Biar saya sendiri saja, dok.” Ujarku pelan.
“Hmm?” Devan dan dokter cantik itu melakukan hal yang sama.
Mereka saling beradu pandang dan tertawa kemudian.
Dokter cantik itu mengisyaratkan Devan untuk diam agar Ia dapat menghentikan tawanya. Devan pun hanya mengangguk sambil tertawa samar.
“Bagaimana? Form ini harus diisi salah seorang sanak keluargamu. Atau kerabat dekat. Apa keluargamu sedang tidak berada di Seoul?”
Aku diam.
Pertanyaan itu.
Aku membencinya.
“Biar aku saja. Tidak apa-apa kan?” Ujar Devan lagi-lagi menatapku.
“Ahh, biar saya sendiri saja Pak Tan.” Ujarku lagi.
Devan tampak mengernyit.
Bahkan aku paham betul alasan dahinya mengernyit seperti itu.
“Ahh. Karyawan Devan.” Ujar dokter cantik itu pelan namun, sungguh, aku masih dapat mendengarnya.
Menjengkelkan.
“Hei, sudah. Istirahat saja. Hm, temanmu sudah aku kabari tadi. Jadi, tak perlu memikirkannya. Aku keluar sebentar.” Balasnya lagi sambil memegang kedua bahuku.
Aku hanya mengangguk pelan.
“Ayo!” Ajak Devan yang diikuti oleh anggukan manja dokter cantik itu.
“Traktir aku kopi !” Ujar dokter cantik itu samar-samar kudengar diiringi tertutupnya pintu kamar VIP ini.
Astaga! Ucapan singkatnya benar-benar membuatku jengkel.
Aku meminum habis air mineral 1.500 ml sekali tenggak di meja dekat ranjangku.
Tunggu dulu..
Temanku sudah dikabari?
Maksudnya?
Mengabari…
Oh, tidak! Mati aku!
.
.
.
“Wanitamu?”
“Hmm.”
“Lagi-lagi dijawab dengan deheman saja. Membosankan.”
Devan tetap melihat gemerlap keindahan Seoul saat malam dari jendela rumah sakit sembari menyeruput kopi dalam genggamannya, tak memperdulikan ocehan sahabatnya itu.
“Hahaha. Kukira selama ini, aku wanitamu.”
Devan menoleh kearah Jang Mi Ra, seorang dokter spesialis penyakit dalam senior di rumah sakit terbesar di Seoul.
Mi Ra masih terus menyesap kopinya perlahan.
“Cindy Park. Cindy. Cindy Park.”
“Ada apa mengulang namanya terus?”
“Hmm. Tidak apa-apa. Hanya saja iri.”
Devan kembali menoleh ke arahnya.
“Iri untuk?”
“Iri karena disebut sebagai wanitamu. Sedangkan yang menemanimu sejak dulu, hanya aku seorang.”
Devan mengalihkan pandangannya.
“Ternyata gadis itu, yang membuat dirimu menjadi tipikal dingin namun mempesona seperti sekarang. Wakil presiden direktur HanSung Corporation.”
“Sudahlah..”
“Apa boleh aku menyuntiknya dengan virus varian baru agar Ia merasakan sakitmu dulu?”
“Hei!!”
“Hahahaha. Secinta itukah Devandra Tan kepada cinta pertamanya?”
Devan terdiam cukup lama.
Lalu, menjawab mantap.
“Ya. Sangat.”
Mi Ra menoleh kearah Devan.
Tak percaya sahabat yang dicintainya dalam diam ini benar-benar masih mencintai cinta pertama yang selama ini selalu masuk dalam topik pembicaraan ketika bersamanya.
Tak percaya sahabat nya ini rela pergi ke Seoul, mempelajari bisnis dengan nilai sempurna di Seoul University dan memohon kepada ayahnya untuk mewarisinya satu perusahaan dimana tempat cinta pertamanya itu bekerja.
“Pria gila!”
“Masuklah. Pasienmu masih menumpuk.”
“Ya, aku bahkan mulai muak berhadapan denganmu sekarang.”
Devan hanya terkekeh.
Mi Ra melangkah pergi meninggalkan Devan. Namun, langkahnya terhenti.
“Apa kau yakin, Ia memiliki perasaan yang sama denganmu?”
Devan kembali menatap Mi Ra, diam.
“Ternyata tidak.” Balas Mi Ra lagi.
“Hei!!”
“Cinta pertama, tak akan pernah berhasil. Kuharap kau tau itu.” Ujarnya lagi meninggalkan Devan dalam diam.
Mi Ra berlalu pergi, tak lupa mengambil sisa kopi Devan dan meminumnya.
“Aish! Wanita gila!”
Yang hanya dibalas dengan lambaian tangan oleh Mi Ra.
.
.
Devan kembali ke kamar rawat inap Cindy, melihatnya sedang menelpon seseorang sambil terus mengucapkan kata maaf.
Devan memandanginya.
Perkataan Mi Ra cukup membebaninya.
“Hmm? Pak Tan?”
Ucapan seseorang menyadarkan lamunannya.
Devan tersenyum begitu mengetahui cinta pertamanya yang tengah memanggilnya, Cindy Park.
“Sampai kapan kau akan memanggilku, Pak Tan, hm?” Ujar Devan mendekati ranjang Cindy, duduk di kursi samping ranjang tersebut.
“Uhmmm..” ujarnya gugup.
“Tidak apa-apa jika belum terbiasa.” Ujar Devan lagi pelan.
Cindy masih dalam diamnya.
“Uhmm.. Tadi berbicara dengan siapa di telfon?”
“Ahh, teman Cindy, Pak.”
“Teman?”
“He’em.”
“Teman pria?”
Cindy terkejut mendengar pertanyaan Devan.
“Ah, mana mungkin, Pak. Cindy hanya seorang gadis lontang lantung di negeri yang maju ini. Keluarga yang berantakan. Pendidikan yang tak sebanding dengan..”
“Aku tahu. Tertulis jelas di lampiran berkas lamaranmu.”
Cindy menoleh kearah Devan, terlihat agak kesal dengan ucapannya barusan yang alih-alih membelanya malah membenarkan ucapannya.
“Namun, Cindy Park tetaplah Cindy Park yang begitu bersinar sejak dulu.”
Devan menatapnya dalam.
“Namaku Cindy, bukan Sindy. C bukan S.” Ucap Devan menirukan ucapan Cindy terhadapnya dulu.
“Waaahh.. Bahkan aku masih ingat gadis cantik yang memarahiku ketika salah mengeja namanya.” Lanjutnya sembari tertawa lepas.
Cindy tertunduk malu.
“Maafkan saya, Pak Tan.”
“Hahahahahahaha.. Bercanda..”
Cindy terdiam, menoleh kearah atasannya yang ternyata tak mengalihkan pandangan darinya sedikitpun, membuatnya sedikit.. kikuk?
“Saya.. benar-benar minta maaf, dengan tulus atas kejadian masa lalu tersebut, Pak.” Ujar Cindy lagi.
“Aku bahkan tidak merasa kamu salah. Teguranmu semata-mata karena memang ejaanku salah.” Ujarnya santai.
Cindy semakin tertunduk lesu.
Kalimat Devan begitu membuatnya menjadi orang yang paling menyedihkan.
“Saya minta maaf, Pak.” Ujarnya lagi pelan.
“Hei.. Sudahlah… Aku sudah melihatmu mengucapkan beribu maaf kepada temanmu di telfon tadi.”
“Semoga teman telfon mu tadi, benar-benar bukan pria.”
“Aku akan sedih jika itu pria.” Ujarnya lagi menciptakan keheningan.
Cindy mencoba memahami maksud atasan selaku anak sahabat Mama nya itu.
“Apa suster sudah kesini?” Ujar Devan yang lagi-lagi memecah keheningan antar kedua insan ini.
“Aaa.. sudah, Pak.”
“Makan?”
“Sudah selesai, Pak.”
“Minum o..”
“Sudah minum obat juga, Pak.” Ujar Cindy tersenyum, tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan Devan.
Devan tersenyum.
Cindy merasa sangat amat senang karena, akhirnya Ia tak melihat wajah lelah Devan yang tiap hari Ia lihat di kantor saat menghadapi kebodohannya.
“Tidurlah..” ujar Devan sembari berdiri dari kursi disamping ranjang Cindy.
“Hmm, Pak Tan..”
“Hmm? Butuh sesuatu? Ingin kuambilkan sesuatu?”
“Hmm.. Mungkin Cindy akan sangat lancang jika meminta hal ini kepada Pak Tan..”
Devan mengernyit. Kemudian tersenyum jahil.
“Ingin ku peluk?”
Cindy terbatuk-batuk. Kaget akan pertanyaan Devan.
“Aaaa.. maaf-maaf..” Ujar Devan panik dan langsung bergegas mengambil air mineral.
Cindy kembali menegak air pemberian Devan, membuat rasa yang daritadi Ia tahan mulai tak dapat Ia kendalikan.
Devan yang melihat raut gelisah dari Cindy langsung menanyakannya.
“Butuh sesuatu lagi, mungkin?”
Cindy agak lama terdiam, lalu..
“Apa Pak Tan boleh mengantarkan Cindy ke kamar kecil?”
Devan tertawa terbahak.
“Apa daritadi kamu ingin ke kamar kecil?”
Cindy hanya tersenyum malu, menutupi wajahnya yang tengah merah merona.
“Tentu saja, boleh.. Aku adalah pendamping spesialmu malam ini.”
.
.
.
.
To be continue . .