Devan tertawa terbahak.
“Apa daritadi kamu ingin ke kamar kecil?”
Cindy hanya tersenyum malu, menutupi wajahnya yang tengah merah merona.
“Tentu saja, boleh.. Aku adalah pendamping spesialmu malam ini.”
~
Aku terkejut mendengar pernyataannya.
Ia mengarahkan lengannya ke arahku.
“Pegang saja, agar seimbang.”
“Pak Tan..”
“Devan.”
“Hmmmm, Pak Devan.”
“Memangnya aku setua itu, ya? Senang sekali memanggilku Pak Tan.” Ujarnya merajuk.
“Maaf ya..” ujarnya lagi.
Aku menatapnya, mencari tahu untuk apa Ia meminta maaf.
Ia memegang jemariku lembut, meletakkannya pada lengan kokohnya.
Aku lagi-lagi tertegun.
Apakah permintaan maafnya adalah salah satu bentuk izinnya untuk memegang jemariku?
Tak pernah menghadapi romansa setelah sekian lama membuatku mudah terjatuh pada pesona pria.
“Tanganmu dingin sekali, apa AC nya terlalu dingin, hm?“
“Ahhh, tidak Dev..”
Ia menatapku dalam, kemudian tersenyum. Raut bahagianya terpampang jelas di wajah manisnya.
“Apa aku sedang demam ya, jadi tanganmu terasa begitu dingin?” Ujarnya lagi.
Bukan Dev.
Bukan karena kamu yang terkena demam, namun diriku yang terlalu panik menghadapi berbagai sikap hangatmu padaku hari ini.
“Ayo, pelan-pelan..”
Ia menuntunku. Dengan perlahan. Mengelus lembut jemariku seakan memberi kekuatan disana.
“Kutunggu disini. Biar kupegangi botol infusnya. Pelan-pelan saja.”
Ia langsung memalingkan wajahnya membelakangiku.
Aku hanya mengangguk pelan sambil menampilkan senyum di wajahku, tak peduli Ia melihatnya atau tidak.
Senyumku merekah dengan sendirinya tanpa perintahku.
Ternyata Ia begitu memperhatikan hal sepele seperti memegang botol infus.
Bisa dibilang aku adalah wanita paling bahagia di muka bumi saat ini.
.
.
“Apa kau gila ?!”
“Maafkan aku..”
“Kau bahkan tidak pernah menceritakan tentang bos gila mu yang ternyata cinta pertamamu!”
Aku menjauhkan ponselku.
Wanita ini benar-benar meneriakiku.
“Pelankan suaramu, Rach! Aku minta maaf, aku akan..”
“Sudah, diamlah! Kau sama gilanya dengan bos mu itu!”
“Maafkan aku. Pelankanlah suaramu, Rachel..”
“Gila! Aku tidak percaya!”
“Aku minta maaf.”
“Kau berhutang cerita padaku, wanita gila!”
“Baiklah.. Aku minta maaf..”
“Kau tahu? Bos gilamu memarahiku.”
“Ha?”
Aku terkejut. Sangat.
“Memarahimu tentang apa?”
“Tentang tidak melarangmu menjalankan berbagai pekerjaan setelah pulang kantor.”
“Hei! Bagaimana dia bisa tahu?”
“Bosmu terlihat sangat panik. Tanganmu berdarah. Hidungmu mimisan. Kau pucat bak mayat. Ia mencariku setelah membawamu ke rumah sakit. Mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Apa kau tahu itu?”
Aku tercengang.
Aku bahkan tak mengetahui apapun.
“Maafkan aku..”
“Ia bahkan membayar uang sewa tempat tinggal kita.”
Apalagi ini?
Ada apa dengan Devan?
Apa aku masih bisa menghadapi wajahnya lagi setelah ini?
“Apa?! Hei!! Kau gila?! Kau tidak menerimanya kan?”
“Bagaimana aku bisa tidak menerimanya setelah Ia mengancam akan memecat kita berdua jika aku menolaknya?”
Aku melengguh pelan.
“Aku bahkan tak tahu sebegitu intens nya hubungan kalian. Dasar!”
“Aku minta maaf. Akan kuceritakan sepulangnya aku dari rumah sakit.”
“Apa kondisimu benar-benar tidak baik sehingga harus dirawat disana? Kita bahkan selalu melakukan perawatan semacam itu di rumah.”
“Hmm. Tenang saja. Istirahatlah. Kututup telfonnya, ya!”
“Wanita gila!”
“Hei!!”
“Ingatlah, dunia kita dengan dunia bos mu berbeda jauh. Cinta pertama hanya ilusi. Cinta pertama tak akan pernah berhasil. Percaya padaku. Jadi, buanglah jauh-jauh rasamu padanya! Aku bahkan tak sudi jika bos gila itu mempermainkanmu nantinya!”
“Aku tahu.” Ujarku pelan.
“Aku percaya padamu, wanita gila! Cepatlah sembuh!”
Aku tersenyum. Aku tahu Ia begitu khawatir, namun tak diungkapkan. Tak lama sambungan telepon kami terputus.
.
.
Aku terbangun dengan wajahnya tepat di hadapan wajahku.
Pipi gembulnya sudah mulai menirus.
Pekerjaan pasti membuatnya lelah.
Alis tebalnya tak berubah.
Hidungnya masih lebih mancung dibanding hidungku.
Rahangnya, semakin terlihat begitu indah.
Matanya, yang terkadang memandang hangat diriku, kadang pula memadangku dingin seperti membenciku.
Aku tersenyum.
Pria ini, walau saat ini berada sangat dekat di sisiku, terasa begitu jauh dari genggamanku.
“Sudah puas memandangi wajah tampanku, Cindy Park?” Ujarnya serak khas suara orang bangun tidur.
Ucapannya menyadarkan sikapku yang kelewat batas.
“Maafkan Cindy, Pak.”
“Hmmm.. Devan..” ujarnya semakin mendekatkan wajahnya ke bantalku.
Nafasku tercekat.
“Apa sudah baikan?”
Aku mengangguk.
“Devan..” Ujarku pelan.
“Hmm? Senangnyaaaa..”
“Apa tak apa jika memanggilmu Devan di kantor?” Ujarku lagi tak kalah pelan.
“Hmm, tentu saja, Cindyku.” Ujarnya lagi.
Aku lagi-lagi tercekat.
Tak lama Ia bangun.
“Astaga! Bicara apa aku?! Aku ke toilet dulu.” Ujar Devan tergesa.
Aku melihat punggungnya berlalu menuju toilet.
Sebelum menutup pintu toilet, Ia berbalik.
Aku masih menatapnya.
“Panggilanku tadi, tulus.” Ujarnya lagi sambil menatapku dalam.
Tak ada respon dariku, lalu Ia menutup pintu toilet.
Cindyku?
Benar kata Rachel, Devandra Tan gila dan membuatku semakin menggilainya.
.
.
.
Pihak rumah sakit mengizinkanku pulang dan memberiku istirahat tambahan sebanyak tiga hari, juga kontrol tambahan agar tak meninggalkan bekas luka pada jemariku.
Dokter cantik yang cukup dekat dengan Devan, aku tak lagi melihatnya.
Devan memaksa untuk mengantarku pulang dengan alasan Ia akan berangkat ke kantor yang memang searah dengan tempat tinggalku.
Kami bersenda gurau di sepanjang jalan. Mengenang masa-masa kecil kita. Aku bahkan tak ragu menanyainya perihal alasan Ia menolak uluran tanganku dulu. Dan alasannya cukup membuatku tertawa terbahak.
Indahnya duniaku saat ini.
“Terimakasih, Dev. Sudah mengantarku.”
Devan masih terdiam sejak memasuki kawasan tempat tinggalku, memandangi lokasinya yang mungkin sangat jauh dari ekspektasinya.
“Aku masuk dulu.”
“Sebentar..”
Aku menatapnya yang terus saja memandangi bangunan tempat tinggalku.
“Sudah berapa lama kau tinggal disini?”
“Sejak… aku diterima di HanSung.”
“Jadi?”
“Baru 2 tahun.”
“Baru? Bagaimana ada orang yang bisa tinggal di tempat seperti ini? 2 tahun bukan waktu yang singkat. Apa yang kau makan tiap harinya?”
Aku terdiam.
Apa hal ini penting untuk dibahas?
Aku merasa sangat tak nyaman.
Ia keluar dari mobilnya, membukakan pintu mobilnya untukku.
“Terimakasih.”
Ia masih terdiam.
“Aku tak nyaman.” Ucapku jujur.
“Sebelum disini, kau tinggal dimana?”
“Apa hal itu perlu ditanyakan?”
“Apa pertanyaanku termasuk pertanyaan yang sulit untuk dijawab?”
“Kau tinggal dimana sebelum di tempat ini? Apa tempatnya jauh lebih kumuh dibanding ini? Apa kau meninggalkan “rumahmu” demi tinggal di tempat seperti ini? Apa kau sudah kehilangan akal ?!”
Aku menghela nafasku.
“Aku masuk dulu.” Ujarku meninggalkannya.
Mataku berkaca-kaca.
Sungguh! Aku sangat amat tak nyaman dengan hal semacam ini.
Ia memegang lenganku.
“Apa ini etika yang diajarkan jika berbicara pada atasanmu?!” Ujarnya kesal.
Aku terhenyak.
Ada apa lagi dengannya?
“Kau bilang apa barusan? Rumah? Aku bahkan sudah kehilangan rumahku sejak Mama dan Papa memutuskan untuk berpisah. Jadi, jangan menilai hidupku jika tak tahu apa yang tengah ku hadapi.” ujarku pelan lalu berjalan pergi meninggalkannya.
Berkali-kali menepis air mata yang terus menerus membasahi pipiku.
Ia terdiam.
Memandangku yang semakin menjauhinya.
Ya, jauh. Kita memang tak akan pernah bisa sedekat yang ku kira.
Karena, duniaku dan dunianya bukan satu dunia yang sama.
.
.
.
To be continue . .