I Found You

Agnesya Febriana
Chapter #5

Dunianya

Ia terdiam.

Memandangku yang semakin menjauhinya.

Ya, jauh. Kita memang tak akan pernah bisa sedekat yang ku kira.

Karena, duniaku dan dunianya bukanlah satu dunia yang sama.

~

Devan Pov


Aku masih terus menatap punggung kecil itu nanar.

Menatap punggung yang terus bergetar dengan tangan yang berulang kali diarahkan kearah pipinya. Menghapus tangisnya.

Aku ingin sekali berlari ke arahnya, memeluknya.

Namun kakiku kelu, tak bergerak.

Aku mengusap kasar wajahku.

Aku membuat seseorang yang membuatku bertahan sampai sejauh ini terluka.

Begitu pecundangnya aku!

Aku yang selalu mencari seluk beluk tentangnya bisa-bisanya melewatkan hal penting seperti ini.

Aku bahkan tak tahu jika Ia merasakan kepiluan seorang diri selama ini.

Keluarga. Tempat tinggal.

Alasan yang membuatnya melampirkan hal terminimalis yang ku lihat dalam berkas lamaran pekerjaannya karena Ia kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya.

“Aaaiiisssshhh!!!!!!!”

Aku memasuki mobilku, membanting pintunya dengan keras, memacukannya diatas kecepatan rata-rata.

Berharap dapat segera mencapai rumah sakit terbesar di Seoul tempat sahabatku berada.

“Jang Mi Ra”

Ponselku berdering, menampilkan namanya di layar.

Aku tak memperdulikannya, hanya semakin memacu kecepatan mobil yang saat ini tengah ku kendarai.

“Aku di dekat lobi.” Ujarku ke arah ponsel, mengabari Mi Ra.

Dari sini dapat kulihat Ia berlari girang dengan kedua tangannya yang sibuk menenteng kopi langganan kami.

Aku hanya menatapnya datar.

Membukakan pintu mobil dari dalam.

“Ini kopi mu.”

Aku hanya diam. Menginstruksikannya untuk meletakkannya di sampingku.

Ia menatapku aneh namun tetap mengindahkan instruksiku.

“Kudengar kau mengantarnya pulang dari suster yang menanganinya. Apa benar?”

Aku masih diam.

“Hei!! Apa kau sedang belajar menjadi tuna wicara sekarang?!” Ujarnya kesal.

“Sejak kapan kau mengetahuinya?” Aku mulai membuka suaraku.

Alisnya bertaut. Raut kebingungan terpancar pada wajahnya.

“Cindy.”

Ia tampak membelalakkan matanya. Terkejut akan pernyataanku.

“Apa maksudmu?!”

“Kau yang paling mengetahui apa maksud pertanyaanku barusan.”

Ia diam.

Aku masih terus menatapnya. Mendesaknya agar mengungkapkan kebenaran yang Ia ketahui ketika kuminta untuk mencari tahu tentang Cindy Park selama ini.

“Aku tak paham maksudmu.”

“Kau bahkan orang yang paling tahu jika aku benci mengatakan suatu hal lebih dari sekali.”

Ia menatapku.

Matanya berkaca.

“Apa kau jauh-jauh kesini hanya untuk menanyakan hal ini?”

Aku diam.

Mencoba menelaah maksud perkataannya.

“Sebaiknya kau pulang. Aku lelah.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya..”

Ia diam sejenak, mengatur nafasnya dan menjawab

“Aku tahu semua tentang wanita itu dari awal. Keluarga, tempat tinggal, pekerjaan, semuanya. Apa akan merubah segalanya jika kuberitahukan dari awal?”

“Apa kau sudah kehilangan akal?! Mengapa tidak memberitahuku sejak awal?!”

“Memberitahukan bahwa wanitamu adalah orang miskin yang naif?”

“Hei!!!!!”

“Bahkan kau membentakku demi wanita miskin itu..”

Aku terdiam.

Ini kali pertamaku membentak Mi Ra.

“Apa orang terpelajar sepertimu pantas mengucap hal tak pantas seperti itu, Jang Mi Ra?!” Ujarku lagi.

Ia menangis.

Menangis kencang.

“Kau bahkan tidak berusaha menghentikan tangisku sekarang.”

Aku kembali terdiam.

“Kau hanya sibuk mengurusi perasaannya saja. Sungguh tak adil.” Ujarnya semakin terisak.

“Sudah..” ujarku menghentikan ucapannya.

Ia menarik lenganku ke arahnya.

“Apa kau sungguh akan seperti ini padaku?”

“Sungguh?”

“Apa wanita itu lebih berarti untukmu dibanding aku yang selalu menemanimu?”

Aku melepaskan jemarinya di lenganku.

“Perhatikan batas kita. Jangan pernah melebihinya. Ku mohon.” Ujarku pelan.

Ia cukup terperangah dengan perkataanku.

Air matanya masih keluar namun tanpa suara.

Aku tak bisa melihatnya seperti ini.

Bahkan aku membuat dua orang yang aku sayangi terluka di hari yang sama.

“Bawalah mobilku ke rumahmu. Aku akan naik taksi. Jangan keluar dengan kondisi seperti ini.”

Aku meletakkan kunci mobilku tepat di samping kopi pemberiannya. Mengambil kopi pemberiannya.

“Terima kasih..”

Dan meninggalkannya.

Aku berjalan kearah pemberhentian taksi sembari menyaksikan indahnya pemandangan Seoul malam hari.

Hawa dingin menembus kaus hitam yang ku kenakan.

“Aisssh!! Dingin sekali!!”

Bodohnya aku yang melupakan jaket tebal di kursi belakang mobilku!

Ponselku kembali berdering.

“Jang Mi Ra”

Namanya yang terpampang di layar ponselku.

Aku menghela nafasku.

Aku tak mengangkatnya.

Bahkan di saat seperti ini, aku masih saja memikirkan Cindy.

Apakah pemanas ruangan di tempat tinggalnya berfungsi?

Apakah makan malamnya tak terlewat?

Aku menyalakan mode pesawat agar tak ada yang semakin merusak suasana hatiku malam ini.

.

.

Cindy Pov


Aku menjalankan hari ku seperti biasa. Menjadi pengantar susu sebelum berangkat ke kantor dan menjadi pekerja paruh waktu di kedai dekat tempat tinggalku beberapa saat setelah pulang dari kantor.

Aku menghela nafas berat.

“Ada apa?”

Aku menoleh ke arah sumber suara itu dan hanya dapat menggeleng perlahan.

“Apa kau yakin sanggup untuk masuk ke kantor hari ini? Lukamu bahkan masih mengeluarkan darah sesekali.” Ujar Rachel.

“Tidak apa-apa..”

“Bos mu? Bagaimana dengan bos mu jika Ia melihatmu seperti ini?”

Aku kembali menghela nafas beratku.

“Kau masih berhutang cerita padaku, Cindy Park.”

Aku terkekeh mendengar ucapan kesalnya dan masih sibuk berkutat menyiapkan bekal kami.

“Biar aku saja yang melanjutkan. Urus lukamu dulu.”

“Sudahlah. Sebentar lagi juga selesai..”

Rachel hanya dapat menggelengkan kepalanya, tak ingin berdebat denganku rupanya.

“Selesai..” ujarku menyelesaikan perbekalan hari ini.

Ia melihatku miris.

“Apa kau tidak lelah?”

Aku hanya menggeleng.

“Beristirahatlah lebih lama. Aku khawatir dengan kondisimu.”

Aku tersenyum dan berucap “bahkan ini adalah salah satu caraku menghilangkan mereka dari ingatanku.”

“Bukankah dulu kau yang menghancurkan rencanaku untuk benar-benar hilang ingatan?” Ujarku lagi mengingatkannya akan kejadian yang tak mungkin terlupakan ketika aku dengan nekatnya ingin lompat dari tingkat teratas suatu mall.

“Aisssh! Wanita gila! Bukan hanya ingatanmu yang hilang tapi nyawamu juga hilang!”

Aku hanya tertawa mendengar jeritan kesalnya.

“Ayo, berangkat! Sebelum kau semakin menghancurkan mood ku hari ini.” Ujarnya lagi sambil mengulurkan tangannya, membantuku berdiri.

.

.

Aku berjalan beriringan dengan Rachel menuju perusahaan yang diidam-idamkan seluruh penduduk kota Seoul.

Aku tersenyum memandang gedung yang menjulang tinggi bertuliskan “HanSung Corporation”.

Tak lama kulihat jajaran mobil mewah mulai memasuki lobi perusahaan kami.

Para petinggi tampak sibuk menyambut seseorang yang akan turun dari mobil itu.

Tak lama, kulihat seseorang yang begitu familiar turun dari mobil yang Ia kendarai sendiri.

Beberapa orang menundukkan kepala, menyapanya, namun Ia hanya menampilkan tatapan dinginnya.

Aku terus menatapnya.

Tak lama, tatapan kami bertemu.

Tak sampai per sekian detik, Ia mengalihkan pandangannya dariku.

Pria itu.

Pria yang membuatku menangis semalam.

Pria yang melihat keterpurukanku tampak semakin jauh dariku.

Walau begitu, pria itu masih terlihat sangat menawan di mataku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah pantulan kaca. Melihat penampilanku yang jauh dari kata sempurna.

Sepatu satu-satunya yang setiap hari ku kenakan.

Setelan yang hanya ada tiga warna berbeda dengan detail yang sama, bahkan sampai dikira seragam HanSung Corporation oleh orang-orang di daerah tempat tinggalku.

Aku tertawa pilu.

Kemana hilangnya kesempurnaan yang kumiliki dulu?

Rasanya aku benar-benar tak pantas berada di ruang lingkup yang sama dengannya.

“Heii!!”

“Cindy..”

“Cinnn..”

Rachel menyenggol bahuku.

Menyadarkanku sepenuhnya bahwa pria yang tadi kulihat sudah masuk terlebih dahulu ke kantornya, saat ini tengah berada di hadapanku. Menatapku.

Rachel menundukkan kepalanya, menyapa pria ini.

Pria ini hanya mengalihkan pandangannya sebentar dariku kearah Rachel lalu kembali menatapku.

“Pp..paak T..aa..”

“Devan.” Ujarnya tegas.

Rachel mengerjap.

Sama halnya denganku.

“Ikut ke ruanganku. Sekarang.” Ujarnya lagi tak terelakkan.

.

.

.










































Lihat selengkapnya