I Found You

Agnesya Febriana
Chapter #6

Bagaimana Jika ?

Pria ini hanya mengalihkan pandangannya sebentar dariku kearah Rachel lalu kembali menatapku.

“Pp..paak T..aa..”

“Devan.” Ujarnya tegas.

Rachel mengerjap.

Sama halnya denganku.

“Ikut ke ruanganku. Sekarang.” Ujarnya lagi tak terelakkan.

~

Aku tertunduk lesu.

Matilah aku!

Tamat riwayatku!

Sebentar lagi pria ini pasti akan menyerahkan surat pemecatan resmi kepadaku.

“Rachel.”

Aku terkejut.

Kuangkat kepalaku.

Membelalakkan kedua mataku.

Apa ini?

Nama Rachel yang Ia panggil. Namun matanya masih tertuju kepadaku.

Aku kembali menundukkan kepalaku.

“Aaaa.. Maaf, Pak, maksud Pak Tan saya yang ikut ke ruangan Bapak?” Ujar Rachel terbata, diselimuti ketakutan yang luar biasa, takut akan kehilangan pekerjaan utamanya ini.

“Pak Lee.”

“Ya, Pak Tan.”

“Ulangi perkataanku tadi padanya. Aku terlalu malas untuk mengulang perkataanku kepada karyawan yang tidak pernah belajar dari kesalahan.” Ujarnya penuh penekanan di tiap kata.

Tatapannya padaku berubah menjadi tatapan tajam yang begitu dingin.

“Baik, Pak Tan.” Ujar salah seorang petinggi perusahaan kami.

Pria itu melenggangkan langkahnya kemudian.

Rachel merosot jatuh ke aspal.

“Mati aku!” Ujarnya berulang.

“Maafkan aku..” ujarku merasa bahkan titik permasalahan semua ini ada padaku.

“Rachel, sepertinya kau sudah dengar perkataan Pak Tan. Segera pergi ke ruangannya, ya, sebelum Ia berkoar lagi.” Ujar Pak Lee, seorang manager utama HanSung Corporation, diselingi candaannya.

“Aaaaa.. Baik Pak Lee. Terimakasih.” Jawab Rachel pelan.

“Tidak apa-apa. Ia tak seburuk kelihatannya.” Ujar Pak Lee menambahkan, yang hanya dibalas senyuman lemah Rachel.

“Biar aku saja yang ke ruangannya.” Ujarku.

Rachel memelototiku.

“Diam saja. Aku bisa menanganinya.” Ujarnya lagi, aku menangkap getaran pada suaranya.

Aku tertunduk lesu, menahan tangisku.

“Eoh?”

Aku menoleh kearah sepatu heels wanita yang berdiri tepat di depan kami.

Sepertinya aku kenal suara ini.

Astaga!

Benar sekali!

Dokter cantik itu.

“Dokter?”

“Kau benar-benar karyawan di sini rupanya.” Ujarnya takjub, namun tampak seperti basa basi belaka, menurutku.

Aku hanya tersenyum kecil.

“Kau kenal padanya?” Tanya Rachel padaku.

Aku hanya mengangguk pelan.

“Kalian sedang membersihkan aspal?”

Aku dan Rachel terkesiap lalu seketika berdiri.

Ia tertawa kecil.

“Ah, kau terlihat dekat sekali dengan Devan. Apa hubunganmu dengannya?”

Aku kaget akan pertanyaannya.

“Tidak mungkin jika hanya sebatas atasan dan bawahan, kan?”

“Devan bukan tipikal orang yang terlalu memperdulikan bawahannya seperti itu..”

“Apa mungkin kau..”

Aku melihatnya, masih terus mendengarkan ucapannya.

“Teman tidur satu malamnya?” Ujarnya sambil melihatku dari atas hingga bawah.

“Heiiii!!! Jaga mulutmu!!” Ujar Rachel marah.

“Rachel, hentikan...” Ujarku menengahi.

“Lihatlah! Temanmu saja bahkan tak menyangkalnya.” Ujarnya lagi sambil menampilkan senyumnya ke arah Rachel yang cukup membuatku ingin merobek sudut bibirnya.

Kalimat itu yang terdengar sebelum Ia melangkahkan kakinya masuk ke perusahaan kami.

Mereka pasti akan bertemu lagi, pikirku.

Mereka pasti begitu dekat sampai-sampai saling berkunjung ke tempat kerja masing-masing.

Aku hanya melengguh pelan.

“Mengapa kau diam saja?”

Aku hanya menampilkan senyumanku.

“Ahh! Kau sudah benar-benar gila! Sudahlah ayo masuk!”

Rachel menggenggam lenganku, mengajakku memasuki perusahaan milik keluarga besar Tan itu.

.

.

Devan Pov


“Kuncimu.”

Aku hanya melihatnya sebentar lalu tetap fokus pada tablet di depanku.

“Letakkan saja di meja.” Ujarku datar.

Ia menuruti perkataanku.

“Aku membelikan kopi untukmu.”

“Tak perlu repot-repot.”

“Tapi, aku sudah membelinya sebelum datang kesini.”

Aku bergumam pelan.

“Terimakasih.”

“Interior kantormu, apa kau mengubahnya? Sepertinya ada beberapa peletakan yang berubah di sini.” Ujar wanita itu sambil sesekali memegang miniatur di ruanganku.

Banyak berkas yang harus ku baca dan ku tanda tangani hari ini, aku bahkan merasa terganggu dengan kehadirannya.

“Apa kau tidak pergi bekerja?”

Ia tertawa pelan, tak menjawab pertanyaanku.

“Wanitamu..”

Deg.

Kata itu berhasil mengalihkan pandanganku ke arahnya.

Aku menatapnya, bukannya melanjutkan kalimat tadi, Ia malah tertawa terbahak sampai wajahnya memerah.

“Apa topik wanitamu itu sebegitu mengesankannya sehingga kau dapat berpaling dari tabletmu?”

Aku hanya berdecak pelan dan memalingkan wajahku kembali ke arah tabletku lagi.

“Pulanglah jika kau memang tidak bekerja. Aku sibuk.”

“Aku melihatnya tadi.”

Gerakan tanganku terhenti.

“Ia tampak lusuh.”

“Berjibaku dengan aspal di depan lobi kantormu, tampak seperti pengemis.”

Aku menatapnya tajam.

“Bajunya juga sama seperti baju yang Ia kenakan saat di rumah sakit.”

“Apa Ia tidak punya baju lain?”

“Pulanglah..” ujarku seraya mengendurkan dasiku, menahan emosiku.

“Apa kau tak berencana membelikannya setelan yang cocok untuk dipakai ke perusahaan sebesar ini, Dev?”

“Pakaiannya saja tak pantas bersanding denganmu.”

“Pulanglah!” Tegurku lagi dengan menaikkan nada bicaraku.

“Apaaa..”

“Aku tidak lagi mengenal Jang Mi Ra yang dulu. Kau terlalu banyak mencampuri urusanku sekarang.”Ujarku menyela ucapannya.

“Pulanglah. Aku sangat sibuk.” Lanjutku.

Ia tertawa lagi.

“Aku menyebutnya teman tidur satu malammu tadi.”

Ucapannya sontak membuatku terkesiap.

“Apa kau sudah gila ?!”

“Ia tak menyangkalnya.”

Aku terdiam.

“Sama sekali.”

Apakah mungkin seorang Cindy rela dipermalukan seperti itu oleh sahabatku ini?

“Pergilah!” Ujarku lagi membentaknya.

“Baiklah.. Terima kasih untuk mobilnya. Minum kopimu, Pak Tan.” Ujarnya sambil berlalu ke arah pintu.

“Ahh, satu lagi..”

“Kau mungkin akan kehilangan wanitamu jika kau bertindak gegabah seperti ini. Ayahmu. Apa Ia akan setuju melihatmu bersama gadis miskin yang bahkan tak mampu walau hanya dibandingkan dengan karyawanmu? Jangan pernah membuatnya menjadi cinderella! Sadarlah Dev!”

Tak selang lama wanita itu benar-benar meninggalkan ruanganku.

Aku mengusap wajahku kasar, melepaskan dasiku.

Persetan dengan ayahku!

Tujuan hidupku selama ini adalah bersama wanitaku.

Tak ada hal lain.

Aku melempar kopi pemberiannya sembarang.

“Ada apa dengannya? Mengapa Ia begitu berubah drastis?” Ujarku pada diriku sendiri.

Tak lama, aku mendengar suara ketukan pintu.

Aku mengatur nafasku. Mencoba agar tidak menunjukkan ekspresi frustasiku saat ini.

“Masuk.” Ujarku.

Rachel berdiri tepat sejajar dengan kursiku.

Ya Tuhan!

Apa Ia mendengar semua ucapan Mi Ra?

Semoga saja tidak.

Raut wajahnya tampak terkejut melihat ruanganku yang sedikit berantakan perkara segelas kopi yang dengan sengaja kutumpahkan dan juga tampilanku yang terlihat tak rapi karena dasi yang sudah tak terpasang dengan indah di kerah kemejaku.

“Duduklah.”

“Aaa.. Baik, Pak Tan.”

Rachel tampak menundukkan kepalanya dengan tangan yang bergetar.

“Apa ada yang ingin kau sampaikan terlebih dahulu?” Ujarku.

Ia mendongak kemudian menunduk lagi.

“Maafkan saya, Pak Tan. Saya mohon maafkan kesalahan saya. Saya tidak dapat melarangnya untuk libur hari ini.” Ujarnya memelas.

Aku menarik nafas panjangku.

“Saya benar-benar mohon maaf. Saya mohon jangan pecat saya, Pak.”

“Lalu siapa yang harus kupecat jika kau tak mau kupecat?” Ujarku.

Ia pucat pasi dan terus terdiam.

Sebenarnya, aku tak sungguh-sungguh dengan perkataanku barusan.

Tujuanku memanggilnya kesini hanya untuk menanyakan kondisi Cindy, tak ada hal lain.

“Tujuanku memanggilmu kesini bukan untuk memecatmu.”

Ia mendongak. Wajahnya tampak begitu berbinar. Namun, tak lama menunduk kembali.

“Apa hobimu dan hobi Cindy sama?”

Ia tampak bingung akan perkataanku.

Baiklah, akan kucoba jelaskan.

“Selalu menunduk jika bertemu denganku. Sebenarnya ada apa?”

“Maksud Pak Tan sebenarnya ada apa, apa benar Pak Tan tak mengetahuinya?” Ujarnya.

Aku hanya mengangguk.

“Karena, Bapak adalah wakil direktur utama selaku anak dari direktur utama pemilik perusahaan tempat kami bekerja. Kami akan terlihat tidak beretika jika kami memandang Bapak selayaknya memandang orang biasa.” Ujarnya pelan.

Aku terdiam.

Mengapa ucapannya begitu menohokku?

“Saya dan Cindy adalah karyawan biasa. Dunia kami dengan dunia Bapak benar-benar jauh berbeda. Jadi, kami dengan tulus mengucapkan mohon maaf jika ada perkataan ataupun perbuatan yang menyinggung Bapak selama ini.”

Aku masih diam mendengarkannya.

“Dan.. Saya mohon untuk jangan pernah merendahkan Cindy seperti apa yang wanita tadi lakukan. Cindy bahkan tak memiliki salah apapun padanya. Cindy..”

Benar dugaanku.

Rachel mendengar percakapanku dengan Mi Ra.

“Cukup.” Ujarku melihat tubuhnya bergetar menahan tangis.

“Jangan pernah mengaturku.” Ujarku dingin.

“Karena aku bahkan tak memiliki pikiran untuk merendahkannya sedikitpun.”

“Sebenarnya yang merendahkan dirinya adalah dirinya sendiri.”

“Kau tahu apa maksudku?”

Rachel tetap menunduk, tak melihatku.

Aku dapat melihat Ia menggigit bibirnya.

“Sudahlah.. Aku memanggilmu kesini hanya untuk memastikan kondisi Cindy. Apakah Ia baik-baik saja? Makan malamnya? Apakah terlewat semalam? Penghangat ruangan? Apa berfungsi dengan baik? Tadi malam suhu di Seoul benar-benar mengerikan.”

Rachel terperangah mendengar ucapanku.

Apa ini berlebihan pikirnya?

“Hmmm. Apa kau mendengarku?” Ujarku memecah keheningan.

“Aaa.. Maaf, Pak Tan. Saya mendengarnya. Ia baik, walau masih saya lihat darah sesekali menetes dari jemarinya ketika menyiapkan bekal makan siang kami. Untuk makan malam, mungkin Ia melewatkannya, karena sepulangnya dari rumah sakit Ia langsung bekerja di kedai dekat rumah, namun Ia memakan telur dengan dua mangkuk nasi tadi pagi sebelum berangkat mengantar susu.”

Tunggu dulu..

Apa Ia bilang?

Apa maksudnya setelah kuantar pulang tadi malam, Cindy langsung pergi bekerja paruh waktu di kedai? Dengan suhu ekstrem semalam?

Dan apalagi tadi?

Mengantar susu?

“Tunggu.. Siapa yang bekerja tengah malam dan mengantar susu tadi pagi?” Ujarku memastikan pendengaranku.

“Cindy, Pak Tan.”

“Ya Tuhan! Wanita itu..”

“Dan.. untuk pemanas ruangan, kami tidak memilikinya, Pak.”

Lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh pernyataannya.

Aku hanya mengangguk sesekali.

“Hmm.. Baiklah. Kau boleh keluar sekarang.” Ujarku pelan.

“Baik, Pak. Terima kasih banyak masih tetap mempekerjakan kami di sini.” Ujarnya sambil terus membungkukkan badannya.

“Sudah.. Apa kau tidak lelah terus membungkuk seperti itu?”

Ia hanya tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya, dan berlalu dari hadapanku.

“Sekali lagi terima kasih, Pak Tan.”

Ucapan itu mengakhiri pembicaraan kami pagi ini.

Aku masih termenung.

Sibuk memikirkan bagaimana hawa dingin semalam menusuk tubuh kecil wanitaku.

Aku ingin menemuinya.

Aku sangat ingin memeluknya saat ini.

Aku bergegas pergi meninggalkan ruanganku.

Bergegas untuk menemui wanitaku.

.

.

Aku melihatnya tengah berkutat dengan layar komputer di depannya.

Ia tampak begitu serius sampai-sampai tak sadar aku tengah memperhatikannya sejak 15 menit yang lalu.

Tak lama Ia merenggangkan tubuhnya.

Dan..

Pandangan kami bertemu.

Ia seketika berdiri, dan cepat-cepat membungkukkan tubuhnya.

Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

Kemudian menghampirinya.

Seluruh karyawan dalam area ini langsung berdiri, membungkukkan badannya ke arahku.

Aku hanya menganggukkan kepalaku sebentar.

Apa menyapanya seperti ini akan membuatnya nyaman?

Ia terus mengalihkan pandangannya dari pandanganku.

Ya Tuhan!

Aku benar-benar tak sanggup.

“Jika kupinjam rekan kalian sebentar, apa ada yang keberatan?” Ujarku kepada orang-orang di sekitar mejanya.

Ada Rachel disana.

Ia menatapku sambil merekahkan senyumnya.

“Paa..k.. T..a..n” Ujar Cindy terbata.

“Tak apa. Sebentar saja.” Ujarku padanya pelan.

Seluruh karyawanku disana menjawab “Tidak” dengan sangat kompak.

Aku hanya mengangguk dan menggenggam pergelangan tangannya menjauhi area itu, mengajaknya melihat pemandangan pagi Seoul dari rooftop kantor kami.

Ia tampak kikuk.

Sama hal nya denganku.

“Apa kabarmu?” Ujarku kikuk.

“Hmm? Baik..” Ujarnya.

Tumben sekali tak memanggilku dengan sebutan “Pak”.

Aku tersenyum kecil.

“Aaaa.. Benar juga. Langsung masuk kerja tadi malam di kedai, tadi pagi sudah mengantar susu, dan saat ini sudah di kantorku.” Ujarku menggodanya.

Ia tampak tersipu.

“Bagaimana kau bisa tahu?” Ujarnya takjub.

“Waaaa, aku punya banyak mata-mata. Jadi, berhati-hatilah.” Ujarku lagi.

Ia tertawa pelan.

Ya Tuhan! Ciptaanmu sungguh sangat menawan.

“Apa tanganmu sudah benar-benar baik?”

“He’em..”

“Pergilah ke rumah sakit agar lukanya dapat tertutup dengan sempurna.”

“Tidak mau.”

“Mengapa?”

“Aku membenci dokter jelek itu.”

Hmm?

Dokter jelek?

Astaga! Apa maksudnya Mi Ra?

Aku tertawa geli mendengar ucapannya.

Sedangkan Ia menatapku tajam, membuatku menghentikan tawaku.

“Hmm, maafkan sikapku tadi malam.”

“He’em..”

“Maafkan juga perkataanku tadi malam..”

“He’em..”

Aku tertawa lagi.

Ia tampak sangat menggemaskan.

Ia menggosokkan pelan kedua tangannya ke arah bahunya.

Aku yang tak kuasa melihatnya kedinginan, beralih dari sisinya ke arah belakang tubuhnya.

Belum sempat Ia mengarahkan pandangannya kepadaku.

Aku sudah mendekapnya erat.

“Pak De..van..”

Ia tampak menolak.

“Sebentar saja.. Aku kedinginan..” ujarku pelan.

Dingin yang menyeruak ini, tak kalah dingin dengan suhu tadi malam.

Namun, wanita ini berhasil melewatinya seorang diri semalam.

Dan aku?

Berjanji pada diriku sendiri tak akan pernah membiarkannya melewati hari-hari sendunya seorang diri lagi.

Lihat selengkapnya