~Kemarin kita masih mengucap kata sayang di penghujung malam. Kini aku tidak lebih dari orang asing yang merindukan masa lalu secara diam-diam~
•••
Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatapnya aneh, Sierra tetap berlari mengejar Shaka yang keluar dari cafe setelah mengucap kata putus tanpa kejelasan. Sierra bingung, dia butuh penjelasan.
Di tengah larinya, Sierra merasakan dadanya sesak cukup hebat sampai kakinya terhuyung karena tidak mampu menopang tubuhnya. Sierra terjatuh, dan hal itu cukup membuat Shaka di depannya berhenti lalu menghadap ke arahnya.
Shaka mendekat. Sierra tersenyum tipis—sangat tipis, lalu senyumnya hilang. Sierra benci tatapan itu, tatapan kasihan yang ditunjukkan Shaka saat ini. Sesuatu terasa direnggut paksa darinya, tapi ia berusaha untuk tetap bertahan dan menahan raut wajahnya agar tak menunjukkan raut kesakitan.
Sepertinya Shaka tidak main-main dengan ucapannya beberapa menit yang lalu, dia sungguh akan memutuskan Sierra. Itu yang Sierra lihat dari mata kekasihnya, ralat—mantan kekasihnya.
“Ini yang paling gue nggak suka dari lo, Ra.” Nada suara Shaka berubah, dari penuh kehangatan, kini berganti dengan begitu dingin.
Sierra berdiri. Matanya mengerjap berkali-kali, merasa ada yang salah, ini seperti bukan Shaka yang Sierra kenal.
Shaka melengos, dia menghela napas kasar. “Kita putus, Ra.”
Sierra mendekatkan badannya ke arah Shaka. “Kenapa? Apa yang paling kamu nggak suka dari aku, sampe kamu minta putus?”
“Karena lo penyakitan dan lo merepotkan,” jawab Shaka gamblang tanpa perasaan berat sekali pun.
Lagi. Ada sesuatu terasa direnggut paksa dari Sierra, ini terasa lebih menyakitkan. Rasa ini lebih menyiksa, karena bukan hanya jantungnya saja yang berdenyut nyeri. Bukan hanya fisiknya saja yang sakit tapi hatinya.
Penyakitan, merepotkan, dua kata itu menggema dengan jelas di kepala Sierra. Gadis itu menatap Shaka kecewa. Dua tahun bersama Shaka rupanya tidak membuat Sierra tahu semua sifat Shaka.
“Jangan kejar gue lagi, gue balik.” Ucap Shaka acuh tak acuh.
Sierra terperangah, semakin tak habis pikir, Shaka sama sekali tidak merasa bersalah. Sierra masih terdiam kaku di tempatnya berdiri hingga akhirnya dia sadar. Sierra mengejar Shaka, memanggil namanya ketika mantan kekasihnya itu hendak menyalakan motor skuter warna hitam, saksi bisu tentang ke mana saja Shaka membawa Sierra satu tahun ini.
“Kita belum putus Shaka, aku masih tetap jadi pacar kamu!” seru Sierra penuh kemarahan. “Aku belum setuju kalau kita putus.”
Shaka semakin tidak peduli, cowok itu hanya menatap Sierra dalam-dalam. Dan entah kenapa hal itu membuat hatinya semakin gelisah. Tapi tetap, keputusannya bulat dan matang. Shaka bersiap pergi dari cafe itu.