~Ini bukan perihal melupakan orangnya, tapi bagaimana gue membiasakan hari-hari tanpa kehadirannya.~
-Sierra Ayu Andria
•••
Sesekali mata sayu itu mengerjap, tangannya terulur berharap segera di sambut. Sesekali melambai, mengisyaratkan seorang laki-laki yang sepertinya hari ini sedang menjadi manusia paling sedih. Matanya memerah, entah sudah seberapa lama menangis.
Napas Shaka tersendat, melirik uluran tangan yang tidak akan pernah ia sambut. Memilih pergi dari hadapan gadis baik hati ketimbang harus membagi dukanya.
"Semua orang akan pergi, yang hidup pasti mati." Lantang, suara gadis itu terdengar. Tapi tidak menghentikan langkah Shaka menuju pelarian.
Tangis Shaka pecah, ia kembali sendirian. Tidak ada yang datang untuk menenangkan, Shaka kembali tenggelam dalam kesepian.
Salah, rupanya ada. Gadis yang tadi Shaka abaikan, bukankah uluran tangan tadi bentuk peduli yang seharusnya menenangkan?
Ragu, Shaka memilih bungkam.
Ini pilihannya, menjerat diri dalam ruang kotak hitam tanpa pintu. Dalamnya gelap, menyesakkan.
Keesokan harinya, terlihat nisan dengan tanah basah. Juga cakrawala yang tertutup kelabu tebal saling berlomba menghitamkan. Juga terdengar suara keras bersaut dengan kilat cepat.
Shaka tergugu menatapi nisan.
Ia membenci tatapan kasihan juga suara tangis yang menurutnya penuh kepura-puraan. Yang sekarang Shaka butuh kan hannyalah sebuah pelarian.
Ia mengutuk semesta yang merebut paksa kebahagiaan.
Lari. Lari. Lari. Shaka berteriak, kian menambah sesak. Melesat cepat, lagi-lagi yang menyambutnya sebuah ruang kotak hitam.
Dingin. Tidak ada yang datang untuk memeluknya. Shaka ingat ada yang mengulurkan tangan—mungkin bersedia menjadi tempat berbagi sedikit dukanya.
Apakah kalau ia menyambut jaminannya berupa 'baik-baik saja'. Ada yang mengatakan itu sebuah kebenaran bahwa ia baik-baik saja. Lalu mengapa hatinya menjerit bahwa ini sebuah kesalahan? Ia kebingungan.
Kemudian, Shaka terbangun dari tidurnya dengan napas tak beraturan.
[I Hold You In My Heart]
Gadis itu berjalan loyo. Mata sayunya mengerjap sesekali memerhatikan orang-orang di koridor yang juga sepertinya tengah menatapnya.
Tatapan itu, tatapan kasihan, iri atau... Entahlah—Sierra tidak bisa menafsirkannya. Dari awal ia menginjakkan kaki di sekolah Sierra tahu beberapa banyak pasang mata saat itu memandangnya. Seolah Sierra adalah hal aneh di antara yang paling wajar.
Padahal di SMA Harapan Satu, Sierra tidak populer seperti Shaka atau Shion, kakaknya. Sierra di kenal karena kalimat seperti;
“Oh, dia, anaknya psikolog terkenal itu?”
“Oh, Sierra yang sakit-sakitan, adiknya Shion itu 'kan?”
“Dih! Serius dia pacarnya Shaka?”
Begitu kira-kira orang-orang tahu namanya. Ia tidak terkenal karena aktif berorganisasi seperti Shion ataupun dikenal karena pintar seperti Shaka.
Sierra dikenal sebagai gadis lemah yang haus perlindungan. Kulit yang selalu tampak pucat, ke mana-mana selalu mengenakan cardigan rajut lengkap dengan kupluk berbahan serupa, semakin menegaskan bahwa Sierra memang gadis lemah yang harus dilindungi.
Sierra kembali menghela napas, kali ini sedikit lebih keras.
“Ra, lo dengerin gue nggak, sih?”
Sierra lupa, kalau sejak tadi, ia tidak berjalan sendiri. Di sampingnya ada Shion yang setia mengantarnya sampai kelas.