Yusuf naik ke atas sepeda motornya, memakai helm. Memasukkan kunci motor, lalu diam sejenak. Memikirkan banyak hal yang telah terjadi. Ingatan memori tentang seluruh janji oleh musuh-musuhnya bermunculan.
Lindungi keluargaku! Selamatkan dunia ini! Mustahil itu hanya untuk generasi kita. Aku akan menunggumu, hiduplah! dan lebih banyak lagi.
Dia tersenyum ketika mengingat semua kata-kata itu. Entah itu bisa atau tidak, Yusuf tidak yakin. Karena terkadang takdir tak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan.
Sepanjang perjalanan, ia melihat ke sekitar orang-orang yang berlalu lalang. Memikirkan enaknya menjadi orang yang tidak tahu apa-apa. Memiliki keluarga, pergi ke sekolah, mendapatkan pacar, dan menikah dengan damai. Itu adalah sesuatu yang sangat sulit ia rasakan.
Tiba-tiba dadanya terasa sakit. Keluar darah dari dalam mulutnya. Jantungnya berdebar sangat cepat. Ia memutuskan menepi sebentar.
Yusuf mengambil obat dari dalam sakunya. Ia melihat obatnya yang hanya tersisa sedikit. "Mungkin aku harus memintanya lagi kepada Randi."
Setelah selesai memakan obatnya, Yusuf kembali melanjutkan perjalanannya menuju sekolah.
Yusuf berjalan di lorong sekolah seorang diri dengan menguap sesekali. Di bawah area matanya terdapat kantung mata. Berjalan menaiki beberapa anak tangga dan mendobrak pintu atap yang terkunci.
Langit yang cerah, hembusan angin dan suasana yang sepi membuat tempat itu terasa sangat nyaman.
Yusuf pergi menyandarkan tubuhnya ke dekat pagar. Menyimpan tas di sampingnya.
"Aku merasa ingin terus merasakan hal ini."
Yusuf tertidur cukup pulas. Mengingat dari semalam, ia tidak tertidur dengan cukup.
Beberapa jam kemudian, ia akhirnya terbangun. Yusuf menggeliat, menghembuskan napasnya dengan lega. Ia melihat jam di ponselnya yang masih menunjukkan pukul 11.
Yusuf menyalakan sebatang rokok. Karena jarang sekali ada orang yang pergi ke atap, jadi ia tidak perlu khawatir ketahuan. Melihat ke arah langit biru sembari menghembuskan asap rokoknya. Membuat kenangan tentang Evelyn muncul kembali dalam ingatannya.
"Eve...."
Yusuf tersenyum. Mengingat mengenai hidupnya yang tidak akan lama lagi. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Hingga akhirnya, anak-anak di masa depan akan segera menggantikannya, cepat ataupun lambat.
Bel istirahat telah berdentang. Yusuf mematikan rokoknya dan langsung beranjak ke bawah. Tak seperti biasanya, ada banyak kerumunan orang di depan kelas Yusuf.
Di depan pintu, tidak sengaja Yusuf menabrak seseorang. Tubuh orang itu langsung terjatuh, tidak seperti Yusuf yang masih dalam tempatnya.
"Maaf!"
Orang itu beranjak bangun. Tersenyum pada Yusuf.
"Tidak apa-apa! saya juga minta maaf!"
Yusuf mundur satu langkah, memberikan jalan untuk orang itu.
"Silahkan!"
Orang itu membungkukkan setengah tubuhnya.
"Terima kasih!"
Yusuf hanya membalasnya dengan senyuman. Ia merasa tidak asing dengan wajah orang itu. Apa dia pernah melihatnya dia disuatu tempat? Korea Selatan? Susan? Kepala pelontos? Ucok?
Yusuf menyeringai. Sialan, dia salah satu dari grup idol terkenal The Secret. Pantas saja ada banyak orang di sekitar sini. Tapi apa yang dilakukan oleh orang seterkenal dia di sekolah ini? belajar? tapi tidak mungkin...tidak, tidak, tidak...itu bisa jadi.
Senyuman yang ditunjukkan Rin tadi itu adalah palsu. Mungkin karena bertatap muka secara dekat, ia bisa mengetahuinya.
Memikirkan semua itu, rasanya membuat kepalanya akan meledak. Ia pun masuk ke dalam kelas. Menyimpan tasnya di atas meja. Melihat ke arah samping kursinya, Nampaknya Joni tidak masuk hari ini.
Sepertinya Randi merawatnya dengan baik. Meskipun sebenarnya dia melupakan Joni dan pergi pulang seorang diri. Perutnya mengeluarkan suara. Ia harus pergi ke kantin untuk mengisi kekosongan dalam perutnya.
Di kantin seperti biasa, Yusuf duduk bersama dengan Jaka, Amel, dan Chelsea.
Dan untuk biaya makanan seperti biasa, Amel yang membayarnya.
"Lo tadi kemana aja Suf?" tanya Jaka yang duduk di sebelahnya.
"Di atap. Tidur."
"Terus, bagaimana kabar Joni?"