Hanya gelap yang terpikir di kepalanya sekarang. Tempat yang entah apa namanya dan kenapa bisa ada di sini menjadi fokusnya. Kepalanya dengan bingung menoleh ke kanan dan kiri mencari sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk. Lembab; itu yang disadari, tapi hal itu tidak membantunya untuk mengetahui tempat ini dengan jelas.
“Marta,”
Suara samar itu bagai sentakan begitu masuk ke telinganya. Dengan was-was, tubuhnya berputar diikuti dengan mata yang bergerak ke sana kemari; mencari sesuatu yang bisa dikatakan sebagai sumber suara hingga matanya menangkap sesuatu di pojok sana. Ini sebuah ruangan?
Dengan gerakan perlahan, kakinya dilangkahkan untuk mendekati “sesuatu” yang kini menjadi fokusnya. Langkahnya berhenti begitu tersisa jarak dua langkah dari sesuatu yang cukup atau sangat mengejutkan itu. Apa itu… orang?
Marta membulatkan mata begitu melihat sesosok perempuan dihadapannya: tubuh yang lemas terlihat memiliki banyak luka yang tidak diobati, hanya dibiarkan mengering; rantai besi yang terpasang pada kaki dan tangan membuat kondisi perempuan itu semakin mengenaskan.
Seperti sadar akan kedatangan seseorang, perempuan itu mendongak, menatap Marta yang masih mematung. Mata perempuan itu membesar begitu bertemu dengan miliknya, sepertinya mereka memiliki situasi yang sama; diam dengan keterkejutan di mata. Dengan perlahan, bibir perempuan itu bergerak, seperti ingin mengucap sesuatu.
“Dengar!” mata yang terpaku kepada perempuan di depannya sekarang bergerak ke sana kemari untuk mencari sumbernya. Marta yakin suara itu bukan berasal dari perempuan di hadapannya karena bibir perempuan itu tidak menunjukkan telah mengeluarkan suara. “Ini suaraku!”
Seruan itu kembali lagi, Marta menatap perempuan di depannya dengan was-was. Itu suaranya?
“Benar! Ini suaraku!”
Marta kembali membulatkan mata begitu mendengar suara asing yang masuk ke telinganya. Pasalnya, tidak sedikitpun ia mengeluarkan suara, dan mulut perempuan itu juga tidak bergerak, hanya menatapnya dengan… berharap? “Hentikanlah semua ini sekarang juga! Aku memohon kepadamu!”
Aku? Ada apa ini? Siapa dia? Marta mengerutkan kening dan matanya menatap wajah perempuan itu dengan was-was.
“Tolonglah aku, hanya kamu yang bisa membantu,” seruan itu menghilang, tergantikan oleh suara lirih yang terdengar putus asa. “Hentikan… dan ubah semuanya; hanya kamu….”
Apa maksudnya? Apa yang terjadi? Rasa waspadanya perlahan memudar. Marta mengedipkan mata beberapa kali untuk menatap perempuan yang sedari awal menatapnya dengan pandangan… “aneh”.
“Lihatlah,”
Dengan perasaan ragu, kaki Marta bergerak untuk lebih dekat dengan perempuan itu. Ditatap perempuan itu dengan lekat; umurnya sekitar dua puluh atau lebih. Cahaya remang yang selama ini membantunya bisa dibilang kurang, ia ingin melihat pemandangan di depannya dengan jelas karena, entah kenapa, wajahnya cukup familiar.
Perempuan itu sangat perlu pertolongan: baju lusuh yang menempel di tubuhnya tampak longgar, entah kebesaran atau tubuhnya mengurus, mungkin yang kedua; bercak kebiruan dan luka dengan darah yang mengering banyak terlihat. Tidak cukup sampai situ, disaat perempuan itu membuka mulut dengan perlahan, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Dibalik bibir yang tidak bergerak, mulut yang tidak mengeluarkan suara, terdapat lidah yang “memendek”; sangat tidak wajar.
Marta memundurkan kembali langkahnya, tangannya terangkat untuk menutupi mulutnya yang terbuka; terkesiap menatap wajah itu dengan ketakutan yang membesar. Saat dirasa telah membuat jarak yang cukup, ia menutup mata dan menggelengkan kepalanya dengan keras seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Suara dengungan muncul, bersatu dengan suara perempuan itu yang tiba-tiba memenuhi kepalanya. Marta memegangi kepalanya kuat, berusaha menepis dengungan yang memekakkan telinga dan perempuan itu yang terus berputar di kepala. Segalanya menjadi berputar, kakinya menjadi sulit untuk menopang tubuh. Ia berusaha untuk berdiri tegak, tapi suara dengungan membuatnya sulit. Tidak tahan lagi untuk berdiri, tubuhnya ambruk dan hilanglah kesadarannya saat itu.
“Hah!”
Marta bangun dari mimpi yang membuatnya otomatis bangkit dari tidurnya. Ia cepat memandangi sekitar dengan napas yang terengah. Sadar bahwa tempat yang dipijak adalah kamarnya sendiri, ia menunduk untuk menutup wajahnya dengan telapak tangan sembari mengatur napas yang masih terengah.
Tok tok
Marta mengangkat wajahnya dan mengarahkan mata ke pintu.
“Masuklah.”
Klek
Ia melihat Rana yang berhenti sejenak di ambang pintu dengan troli di tangan, tampak terkejut juga bingung melihat wajahnya.
“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Rana terlihat sedikit khawatir.
“Aku baik-baik saja, hanya mimpi buruk.”
Rana mengangguk sebelum berjalan ke samping tempat tidurnya; memindahkan wadah berisi air hangat dari troli ke meja di sebelah tempat tidur dan membukakan gorden yang ada di kirinya, membuat cahaya mentari masuk menerangi kamar yang sedikit gelap itu.
“Apa Nona akan mandi sekarang?” tanya Rana yang kini kembali menghadap Marta.
Marta tersenyum kecil dan mengangguk, “Ya, tolong.”