Marta duduk di meja rias, memperhatikan Rana, pelayannya, memilih pakaian untuk dipakainya dari cermin yang menyatu dengan meja. Ia bisa melihat helaan dan gelengan kepala yang Rana buat saat melihat dan menyibak satu persatu baju yang tergantung di lemari. Ekspresi yang Rana tunjukan sudah berkali-kali ia lihat, dan sebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah baju-baju “lusuh” di lemarinya.
“Apakah Nona tidak berniat untuk membeli setelan atau gaun baru?” Rana menoleh untuk menatap Marta lewat cermin.
Marta menggeleng pelan lalu memutar kepalanya untuk menatap Rana dari balik bahu. “Aku hanya butuh pakaian biasa kali ini. Pakaian yang membuatku terlihat seperti rakyat biasa,” ucapnya walau sebenarnya penampilannya sehari-hari tidak bisa dikatakan sebagai anak dari pejabat.
Helaan napas kembali keluar dari mulut Rana. “Baiklah, Nona.” Tangannya kembali mencari-cari setelan yang dikiranya “pas” untuk Marta. Bila boleh berkata terang-terangan, ingin sekali mulutnya berkata bahwa setiap setelan dan gaun yang dipakai Marta sangat kontras dengan pakaian-pakaian mahal nan indah milik majikannya yang lain. Walaupun tidak peduli dan tidak menganggap Marta ada, setidaknya membeli pakaian baru untuk dipakai Marta tidak akan membuat mereka rugi, apalagi dengan harta melimpah yang mereka miliki. Bisa-bisa orang salah paham bila melihat seseorang dengan pakaian biasa berjalan bersisian dengan orang-orang berpakaian eksklusif.
Klek
Pintu terbuka, Marta dan Rana otomatis menoleh menatap seseorang yang melakukan itu. Celia, yang membuka pintu, menatap Marta lalu Rana dengan tajam. Kemudian berjalan masuk, yang menimbulkan suara ketukan di tengah keheningan, dan duduk di pinggiran tempat tidur. Ia bersedekap dan menatap Marta dengan tajam. Marta balas menatap ibunya dengan ragu; ia tahu bahwa ibunya akan bertanya sesuatu setelah ini.
“Kau betulan akan pergi?” tanya Celia dengan sarkas.
“Iya, Ibu,” ucap Marta pelan dengan anggukan kecil.
“Huh, anak tidak tahu diri,” Celia mendengus kasar juga menyentak, “kau pergi ke luar padahal tidak ada sekalipun hal penting yang kau lakukan di sini. Sungguh tidak tahu malu.”
Marta menunduk tanpa merespons. Kepalanya dipalingkan untuk kembali menatap cermin, ia melirik Celia lewat cermin; sedang memperhatikan Rana menyiapkan pakaian.
“Itu yang akan dipakai?” tanya Celia dengan jari tertunjuk terangkat saat Rana mengeluarkan rok selutut dan atasan panjang yang terlihat sangat biasa.
“Betul, Nyonya,” Rana menjawab sopan.
“Baiklah.” Celia berkata ketus lalu bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke luar kamar tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan Marta dan Rana yang terbengong sesaat.
“Ini, Nona.” Rana menyodorkan setelan pakaian di tangannya yang dibalas Marta dengan ucapan terima kasih. Setelahnya Rana berjalan keluar kamar dan menutup pintu saat tugasnya selesai.
Marta bangkit untuk mengganti gaun di tubuhnya dengan setelan yang disimpan di atas meja rias. Setelah selesai, ia membuka lemari dan menyodok sesuatu di pojok bawah lemari; jubah berwarna coklat gelap dengan tudung. Ia menyampirkan jubah itu di lengan kiri lalu berjalan keluar melalui pintu belakang.
Memang aneh bila orang lain mengetahui hal ini karena setiap anggota keluarga pejabat yang ingin pergi ke luar pasti akan melalui pintu utama dan kereta kuda akan muncul di hadapannya, mereka keluar pun melalui gerbang depan, bukannya belakang.
Hal ini dilakukan untuk menghindari kecurigaan orang-orang di gedung bila melihatnya keluar menggunakan kendaraan yang “bukan biasanya” dipakai oleh anggota keluarga pejabat, dan juga kendaraan yang akan dipakai saat ini adalah milik pribadi seseorang, akan rumit bila orang lain melihatnya.
Marta terus melangkahkan kakinya melewati bunga-bunga dan tanaman lain yang berjejer di taman belakang hingga sampai di ujung gerbang—ini juga dilakukan untuk menghindari ada orang melihat. Sesampainya di sana, sebuah kereta kuda yang tampak biasa—berbeda dengan kereta kuda milik para pejabat—datang mendekatinya.
“Mari, Nona,” ucap seorang kusir yang duduk di balik kuda berbulu coklat. Dialah Nera, orang suruhan Danta.
Marta mengangguk dan menaiki kereta kuda tersebut.
***
Di kota memang selalu ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang serta beberapa kereta kuda milik pejabat dan rakyat biasa yang melintas. Hal tersebut bisa dibilang wajar karena toko-toko dan restoran berjajar di setiap sisi, para pedagang di pinggiran jalan juga banyak. Tak heran bila tempat ini disebut juga tempat tanpa istirahat.
Pandangan Marta terus memperhatikan sekitar hingga kereta kuda berhenti. Nera menginterupsi saat mereka sampai di depan bangunan pedagang bercat putih. Marta dengan segera memakai jubahnya lalu bergerak turun dan menghampiri Nera.
“Aku tak akan lama, jemput aku 15 menit lagi.”
“Baik, Nona.”
Marta berbalik bersama dengan perginya kereta kuda. Ia berjalan memasuki gang sempit yang diapit oleh bangunan bercat putih dan krem. Bisa dibilang bahwa gang ini tidak begitu terlihat karena sedikit tertutup oleh pedagang dan kotak-kotak kayu milik pedagang yang mungkin berisi bahan dagangan. Langkahnya terus bergerak dan berbelok melewati gang sempit yang kian menggelap sampai tiba langkangnya di depan gubuk tua yang tak terurus. Ditolehkan kepalanya ke kanan-kiri untuk menghindari seseorang akan melihatnya.