Lelaki itu menegakkan badan, masih bertahan dengan seringai di bibirnya. Marta menyipitkan mata dan memandang was-was. Bukankah ini kali pertama kita bertemu? Ia tidak sedikitpun mengalihkan bola matanya ke arah lain. Kecurigaan muncul di dirinya secara otomatis, bagaimana bisa tahu namaku?
“Siapa dirimu?” tanya Marta waspada. Ia sedikit menaikkan alis sekaligus meredakan keterkejutan yang masih tertera di wajah.
“Wah… sepertinya kamu belum ingat,” lelaki itu mendongak dengan jengah; kedua tangannya di tempatkan di pinggang, “yah… memang perlu waktu, sih, aku pun begitu.” Gumam lelaki itu. Marta mengerutkan kening dan semakin memandang heran lelaki di depannya ini. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa kata-kata itu tiba-tiba terucap dari bibir si lelaki, padahal mereka tidak memiliki urusan apapun sebelumnya. “Kau akan tahu nanti,” sambungnya.
“Apa maksud—” Marta menyetop ucapannya sebab tidak memiliki satupun petunjuk mengenai kemunculan, apalagi maksud perkataan lelaki itu, mulutnya terlalu kaku untuk mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Ia menghela napas kecil untuk sedikit menenangkan diri. “Bagaimana kau tahu namaku? Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?” Marta bertanya dengan sedikit cepat.
“Waw…” lelaki itu terbengong lalu terkekeh kecil. Entah di mana letak lucunya, ia begitu karena mendengar pertanyaan Marta. “Wajar saja, kau kan tak ingat.”
“Tak ingat?” Marta mengulangi perkataan lelaki itu, kemudian maju satu langkah untuk mendekat, takut ternyata yang didengarnya salah. Apa maksud lelaki ini?
“Ya, benar, kau tak ingat,” balas lelaki itu. Kini mata lelaki itu menatap Marta dengan yakin, malah seperti sedang menggurui, “dengar, ya…, kau ingat atau tidak, pokoknya kau harus berhenti melakukan apa yang kau lakukan sekarang.”
“Apa?” keterkejutannya terucap begitu saja tanpa bisa dicerna terlebih dahulu. Marta menjadi kesal. Ia maju selangkah dan menatap dengan tegas lelaki di depannya. “Berbicaralah dengan lebih jelas.” Marta menekan setiap kata dalam kalimatnya. Tidak bisa lagi ia bertahan dengan situasi aneh yang membingungkan ini, ia juga sudah tidak sabar menunggu penjelasan dari kemunculan dan ketahuan lelaki itu tentang namanya.
“Aku sudah mengatakan dengan jelas,” lelaki itu menjawab tidak terima, kepalanya sedikit dimiringkan untuk menambah kesan pongah; tidak setuju dengan pekataan Marta. Kemudian ia mendengus lalu meluruskan kepalanya dengan dagu terangkat, sangat seperti orang sombong. “Berhentilah,” ucapnya acuh tak acuh, matanya kini tidak menatap Marta, malah menatap ke arah lain, “dan aku tidak akan memberitahumu, kau akan segera mengetahuinya.” Lelaki itu berbalik dan meninggalkan tempatnya.
Marta yang masih di dalam ruangan segera menyimpan buku di tangannya dan berlari keluar. Ia melewati lorong hingga tiba di tempat pria tua duduk. Pria itu mengangkat kepalanya dari bunga beracun yang sedang dimainkan; bunga Nynix.
“Di mana lelaki itu?” Marta bertanya mendesak.
“Lelaki?” pria itu memandang Marta dengan kening berkerut. “Ah~ sepertinya dia datang ke sini, ya,” gumam pria itu pelan; memandang ke bawah sambil mengangguk kecil. Ia mengangkat kembali kepalanya dan menatap Marta. “Aku tidak lihat.”
“Apa?” Marta berseru seraya menatap pria itu sinis. Jelas sekali lelaki itu pergi keluar, dan jalan menuju pintu hanya satu, pastinya pria ini juga melihat kepergian lelaki itu. “Kau mau menyembunyikannya dariku?”
“Tidak juga. Tapi aku berkata benar, aku tidak melihatnya.”
Marta mengembuskan napas kasar; menatap tidak percaya kepada pria di hadapannya yang hanya menatap seakan memang tidak mengetahui apapun. Menyebalkan, ia mendengus. “Lalu siapa orang itu? Mengapa dia di sini?”
“Kalau itu aku tidak bisa memberitahumu. Identitas pelanggan itu rahasia. Begitulah bertransaksi di sini, kau juga tahu itu.” Pria itu berucap santai lalu kembali menatap bunga Nynix lalu memainkannya.
Marta menatap jengah lalu merogoh kantong roknya untuk mengambil jam saku. Waktunya sudah hampir habis, ia harus segera pulang. Tangannya kembali menyimpan jam itu di sakunya.
“Waktuku terbatas sekarang, aku akan mengambil sisanya di hari lain.”
“Terserah kau.” pria itu menjawab dengan malas tanpa melihat ke arah Marta, tangannya sibuk mengelus kelopak bunga Nynix. Sedangkan Marta sudah berlalu pergi dari tempatnya berdiri. Ia juga tidak begitu mendengar jelas perkataan pria itu, fokusnya sekarang kepada waktu menipis yang terus bergerak.
Marta berjalan dengan cepat dan sesekali berlari saat melewati gang-gang sempit dan gelap. Walaupun jika diperkirakan, waktunya masih cukup, tetapi ia harus bersegera. Dengan tangan yang menutup kepalanya dengan tudung, ia menaiki kereta pengangkut barang yang sudah terparkir di depan gang.
“Percepatlah,” ucap Marta ketika sudah duduk di tempatnya.
“Baik, Nona.”
Kereta segera melaju meninggalkan gang tersebut dengan cepat.
***
Kereta memasuki gerbang belakang dengan hati-hati, kemudian secara perlahan berhenti sebagai akhir dari perjalanan. Marta melompat turun setelah mengintip dan melihat tidak ada siapapun di sekitarnya. Ia dengan segera turun lalu berjalan dengan tangan yang bergerak melepaskan jubah di tubuhnya. Pintu belakang didorong, Marta masuk lalu menutupnya kembali. Ia berjalan terus hingga tiba di depan pintu kamarnya. Ingin rasanya untuk mengistirahatkan diri sebelum datang menghadap Danta.
“Nona Marta.”
Marta menghentikan langkahnya begitu melihat Lan yang berdiri di depan kamarnya. Marta menghela napas kecil, kemudian melangkah mendekati Lan. Sepertinya waktu istirahat harus ditunda. “Tuan meminta Nona ke ruangannya begitu sudah kembali.”