“Ada apa? Kau sudah mengingatnya?” tanya lelaki itu. Ia menyandarkan lengannya di sisi pintu sambil bersedekap.
Walau dirinya baru saja terkejut, Marta berseru dalam diam; yang diharapkan betulan terjadi, lelaki itu muncul di hadapannya. Tangannya bergerak untuk menutup dan menyimpan buku ke rak dengan asal. Matanya tidak menatap tepatnya buku itu diletakkan; terus menuju pada lelaki di depannya. Kakinya melangkah mendekat dan berhenti tiga langkah dari lelaki itu. “Omonganmu sangat aneh sampai aku pikir kau adalah orang iseng. Tapi sepertinya kau memiliki sesuatu,” Marta menatap lelaki itu lurus. “Ada suatu ikatan yang tiba-tiba terasa dalam diriku. Bisa beri tahu aku?” alisnya terangkat naik dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
Tidak ada suara di antara mereka. Lelaki itu hanya diam menatap Marta yang masih menunggu jawaban hingga akhirnya ia menghela napas dan berkata yang lebih ditujukan untuk diri sendiri, “Sepertinya memang butuh waktu lama. Yah, aku juga sedikit tidak sabaran.” Ia membetulkan posisinya berdiri menjadi lebih tegak; tangannya terulur di depan Marta. “Karas. Itu namaku.”
Pandangan Marta turun untuk menatap tangan Karas yang terulur. Hanya selang beberapa detik, pandangannya kembali naik lalu menerima uluran tangan itu. “Suatu kehormatan, tapi sepertinya aku tidak perlu mengenalkan diriku.”
Karas tertawa mendengarnya, “Memang tidak perlu. Aku sudah tahu, bahkan sesuatu tentang dirimu yang kau tak tahu.”
Ternyata perasaan itu benar. Marta merasa ucapan lelaki itu main-main walaupun terucap dari wajah yang sekarang tersenyum mirip mengejek; lelaki itu mengetahui sesuatu. “Seperti yang aku katakan tadi, bisa beri tahu aku hal yang aku tidak tahu tentang diriku itu?”
Karas menghela napas, seperti bersiap. “Baik.” Karas menjawab dengan lugas. Sorot matanya berubah: lebih serius dan sedikit tajam. “Ingatan-ingatan yang muncul di kepalamu itu adalah pesan yang harus kau perhatikan karena bukan alasan remeh hal itu muncul di dirimu.”
Mulut Marta sedikit terbuka, “Pesan?” ucapan itu terlontar secara otomatis dari mulutnya. Jadi benar…, kepalanya mengangguk-angguk perlahan, pikirannya melayang ke peristiwa di mana Ia membaca buku di perpustakaan. Dugaannya saat itu benar, tapi bagaimana bisa benar? Dan apa tadi? Ingatan?
“Kenapa pesan seperti itu bisa ada pada diriku. Bukankah tidak mungkin hal seperti itu terjadi.”
Karas diam sejenak sebelum kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Ia mendekati Marta lalu menempatkan satu tangannya di pundak Marta. Marta manatap tangan yang menempel di pundaknya lalu menatap Karas dengan heran.
“Aku akan langsung menunjukkannya.”
Wush
Semilir angin tiba-tiba muncul mengelilingi mereka berdua. Marta mematung; bibirnya bergerak kaku. Apa yang dilihat matanya tidak bisa diproses di menuju otaknya.
“Kau bisa tahu sekarang?” Karas mundur beberapa langkah. Tangannya terlipat dengan sorot mata yang menatap lurus; menunggu reaksi Marta.
“Bagaimana mungkin…?” Marta menatap sekeliling dengan gugup. Ini bukan ruangan yang sebelumnya ia berada. Tembok dan rak-rak buku tua itu menghilang, berganti dengan area terbuka dengan pepohonan dan rumput-rumput liar. Daun-daun dari pepohonan menutup langit dengan lebatnya; membuat tempat ini sedikit gelap juga sunyi.
Marta menatap Karas dengan was-was, “Dari mana kau berasal?”
“Hyamith.” Karas menjawab santai.
“Apa?! Bukankah tempat itu sudah mati?” Marta berseru, “pemimpin kedua Wilayah Swinde dan bantuan dari para mantan penyihir menyapu bersih tempat itu tanpa sisa. Saat itu juga menjadi hari di mana sihir muncul kembali dan menghilang lagi saat urusan dengan Hyamith selesai."
“Begitulah apa yang dikatakan buku sejarah. Nyatanya tempat itu tidak tersapu bersih.”
Marta mengernyitkan kening, “Bagaimana bisa?” ia merasa terkejut juga heran dengan fakta yang baru Ia dengar ini.
“Tuan Terith membangun tempat rahasia menggunakan sihir. Karena tempat itu berisikan orang-orang dengan kemampuan sihir, tempat itu hanya bisa didatangi dengan sihir.”
“Maksudmu tempat itu tersapu bersih karena semua orang bersembunyi di tempat itu?” Marta bertanya dengan skeptis sembari mengangkat alis.
“Yah~, singkatnya begitu.”
“Jadi… di zaman ini sihir masih ada?”
Karas menjentikkan jari, “Tepat sekali.” Dagunya sedikit terangkat; entah kenapa ia terlihat bangga setelah mengungkapkan fakta itu.
Marta menatap Karas dengan mulut yang sedikit terbuka; matanya berkedip beberapa kali dan berpaling ke arah lain. Desahan pelan keluar dari bibirnya; tak percaya bahwa yang terjadi di depannya betulan nyata. Dengan ragu, matanya kembali menatap Karas. “Kalian… masih tinggal di persembunyian itu?”
“Hm… sebagian besar,” Karas mengangguk, “tapi sebenarnya kita sering berkelana; Swinde, Tervice, Prane, bahkan Hyamith; kita ada dimana-mana. Lihat saja aku,” tangannya terbuka dengan telapak tangan menghadap ke atas.