Ada luka yang mengendap, menguap seiring berjalannya waktu, tersisa karena tak pernah terobati. Kusimpan ia menjadi kenangan, pada sebuah dimensi yang kunamai; ruang patah hati.
⛅
Kebenaran akan terungkap...
🍁
Kamu tak perlu takut,
kemari, mendekap... 🍃
Peluk ayah,
sampai ayah menjadi pengap.
🍂
Peluk ayah,
Sampai semuanya menjadi gelap.
Tangannya terbuka lebar, berlutut, cemas, ia berharap. Sesekali melambai, mengisyaratkan seorang bocah yang kini nampak ketakutan untuk mendekat.
Tangis Altair pecah, ketika dua orang lain menyambutnya. Membawa ia ke ruang yang lebih bercahaya, tidak remang seperti di balik jeruji sebelumnya.
Beberapa hari kemudian, terlihat nisan dengan tanah basah. Juga mega yang tertutupi kelabu tebal menggebu. Bersaut dengan suara keras dengan kilatan cepat.
Altair sendirian. Memeluk nisan.
Ia tak mengerti belas kasihan, yang ia butuhkan hanyalah sebuah pelarian.
Ia meneriakan ketidakadilan. Tentang semesta yang merebut kebahagiaan.
Ia meneriakan ketidakadilan, tentang semesta yang membawa kesedihan.
Ia berdiri menentang awan, tak sedikitpun terlihat bahwa ia segan.
Yang diinginkan sekarang hanyalah kebenaran.
Kebenaran yang membuatnya tertekan.
Atau kebenaran yang ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian,
Altair bangun dari tidurnya dengan napas tak beraturan.
***
Perempuan itu berjalan loyo. Kantung matanya hitam. Kepalanya ditundukkan.
Bruk..!
"Duh..!" Merta meringis, berniat mengusap dahinya. Bukannya melepas kepalanya dari benturan, ia justru menerka apa yang baru saja ditabraknya.
"Duh, dada enak!" tebaknya kemudian baru ia mengadah.
Telunjuk itu menyingkirkan dahi Merta dari dada bidangnya.
"Hehe," Merta menampilkan senyumnya.