Aku mampu mengagumimu dalam diam. Kemudian mengharapkanmu di setiap malam. Namun sepertinya, menginginkanmu adalah sebuah hal kelam.
Yang bisa membuat jatuh pada luka paling dalam.
⛅
Amerta menggigit bantalnya. Rambut perempuan itu berantakan. Sedari tadi ia meringis, mengumpat dirinya di atas kasur berwarna abu favoritnya.
Bukan sebuah kamar mewah dengan kasur king size seperti yang teman-temannya punya. Hanya kamar sederhana berwarna abu senada dengan pernak-pernik imut kesukaannya.
Sisa potongan mainan pesawat tertata rapi di atas meja. Sebagian ia beri plester karena parah hancurnya, mencoba menyembuhkan mainan kecil itu, seperti menyembuhkan lukanya.
Puas mengumpat karena kejaadian tadi siang di sekolah membuat Merta diam. Matanya berkaca-kaca, sesak tiba-tiba merasuki jiwanya. Setetes air mata berhasil lolos dari pelupuk mata.
Memang kamu mampu ikutin semua? Godain saya aja kamu gak bisa. Deg-degan keliatannya!
"Merta sakit hati," ujar Merta menelungkupkan kepalanya.
Tinn....!
Suara klakson yang sudah Merta hapal di luar kepala membuat Merta bangun, beranjak dari kasurnya dan berlari untuk membuka pagar rumah.
Seulas senyum ia tunjukkan ketika ayahnya memasukkan motor ke halaman.
"Gimana di sekolah?" tanya Ankar, ayah Merta yang baru pulang bekerja.
Merta menunduk kikuk, "Maafin Merta Ayah,"
"Kamu dihukum lagi?" Ankar masuk ke dalam, duduk di salah- satu sofa dan membuka sepatunya.
"Engga, Merta hari ini enggak dihukum, enggak masuk BK juga. Tapi Merta hari ini malu," ujar Merta terus terang.
Ankara Teraba, pria paruh baya itu terkekeh. "Setidaknya, jangan berbuat tindak kriminal."
Merta mengingat semua kejadian, apa mengerjai Bu Riyani merupakan tindak kriminal? Memecahkan kaca? Memukul sarang lebah? Tindak kriminal? Perempuan itu menggeleng cepat,
"Ay Ay Captain!" Hormatnya.
"Ayah mau kopi?" tawar Merta.
Ankar menggeleng, "Hampir Ayah lupa, di bagasi motor ada sesuatu, Ayah ingat kamu waktu lihat, jadi Ayah beli."
Rasa penasaran Merta menguap, cepat-capat ia mengambil kunci motor ayahnya itu. Dibukanya bagasi motor dan Merta menemukan plastik berwarna putih, entah berisi apa.
"Makasih Ayah!" Merta membungkuk, membawa plastik tersebut ke kamarnya.
Ia tutup pintu perlahan, dan mulai membuka plastik yang sudah menjadi miliknya.
Merta tertegun melihatnya. Sesak kembali hinggap. Ia memeluk benda yang baru saja diberikan ayahnya. Air mata kembali membasahi pipinya. Merta menangis sesegukan malam ini.