Sepanjang perjalanan, Gia memeluk pinggangku erat, sepertinya ketakutan. Mungkin ini pertama kalinya Gia naik vespa. Padahal menurutku, mengendarai motor—apalagi vespa—sangat menyenangkan. Bukannya tidak ada kendaraan lain, di garasi rumahku, ada sebuah mobil Karimun yang siap digunakan. Namun aku sudah terlanjur nyaman menggunakan vespa kesayanganku, Si Jojo.
“Gi, mampir ke rumah gue dulu ya, ada yang ketinggalan,” ujarku. Sebenarnya tidak ada yang ketinggalan, aku cuma risih ke mana-mana memakai rok jelek ini.
“Iya, terserah lo aja,” sahut Gia pasrah.
Saat sampai di rumahku, Gia tampak mengamati sekeliling. Halaman depan rumahku tidak terlalu luas. Sebagian halaman ditumbuhi rumput yang sudah mulai panjang, sebagian lainnya dipakai untuk garasi yang beratapkan seng. Sebuah mobil Karimun berwarna silver terparkir di bawahnya. Di samping garasi darurat itu, ada pohon mangga setinggi atap rumah. Beberapa pot anggrek kecil yang berwarna-warni tergantung tepat di bawah pohon itu, membuat suasana menjadi sejuk.
“Rumah lo bagus ya,” ujar Gia pelan. “Gue pengin punya rumah kayak gini,” Gia turun dari vespaku yang kuparkir di garasi.
“Kecil gini dibilang bagus,” aku tersenyum menatap sekeliling. “Tapi punya rumah aja udah syukur sih, nggak pa-pa agak kecil.”
“Kecil tapi nyaman. Suasananya tenang gitu,” ujar Gia saat melangkah masuk ke beranda depan. “Lo tinggal sama orang tua, Tiffa?”
“Sama nenek gue.”
“Orang tua lo di mana?”
“Mama tinggal di Bali...” kalimatku menggantung.
“Sama ayah?”
Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Kalau mengingat asal-usulku yang tidak jelas, aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Kenapa senyumnya gitu, Tiffa?” tanya Gia lagi.
Aku menggeleng. “Nggak, yuk masuk.” Kubuka pintu rumahku untuk Gia.
Di ruang keluarga, Oma tampak sedang menonton TV, beliau perempuan berumur sekitar 60 tahun dengan rambut yang sudah memutih, namun wajah keriput itu masih menyisakan jejak kecantikkan di masa mudanya.
“Oma, Tiffa pulang,” ujarku dengan suara yang agak keras, takut tidak didengar olehnya. Pendengaran Oma memang sudah mulai menurun.
Oma membenarkan letak kaca matanya yang melorot di hidung. “Tiffa? Sama siapa itu?”
“Ini Gia, temen di sekolah,” sahutku. Gia mengangguk, tersenyum ramah pada Oma.
“Kamu cantik sekali, Gia,” puji Oma. Kembali mengatur letak kaca matanya, sepertinya berusaha melihat Gia lebih jelas. “Tiffa, kamu kok ndak bilang kalo mau ngajak temen ke rumah, Oma kan bisa masakin yang enak-enak.”
“Ini juga emang nggak direncanain kok Oma,” sahutku. “Lagian cuma mampir bentar, ntar mau pergi lagi.”
“Tiffa.. Tiffa.. Anak cewek kok ndak pernah ada di rumah sih.” Oma geleng-geleng kepala. Beliau kembali serius menonton TV.