Ujo sudah masuk kembali.
Sepulang ngampus dia ngajak gue sana Tyo main futsal tapi mohon maaf yang sebesar-besarnya kalo gue sudah mulai sibuk ngurus kafe milik Om Sony. Desy sore ini juga sibuk di rumah Oma. Ia harus mengambil uang di lima belas pintu kontrakan kelas menengah. Makanya yang tinggal di sana kebanyakan pegawai-pegawai dengan penghasilan 5-8 juta per bulan. Sudah kayak juragan kontrakan. Setelah menagih ia harus membereskan rumah buat kita tinggal.
Desy mengirimkan foto rumah tersebut. Ia bilang ia takjub menyaksikan rumah semi permanen yang luas bangunannya 1000x800 meter. Lebih lebar sedikit dari rumahnya dan rumah gue. Sudah, jangan diganggu. Biarkan ia merapikan dengan suasana hati senang.
Om Sony datang setengah jam setelah kafe buka atau lebih tepatnya setelah gue memperkenalkan diri sebagai manajer baru sekaligus mengatur strategi penjualan sore ini. Kafe om gue memang bukanya pukul 4 sore sampai jam 12 malam. Alasannya anak muda dan pegawai kantoran mayoritas mampir ke sini setelah jam aktifitas kantor selesai. Om gue emang jago banget cari lokasi buat usaha. Ia memanfaatkan semua cabang kafenya di tengah padatnya gedung-gedung pencakar langit dan kegiatan orang ramai dan sibuk. Jadi gak heran kalo kafenya langsung padat begitu memasuki jam 7 malam.
“Renaldy. Semangat kerjanya. Om yakin kamu bisa memakmurkan kafe Om. Oh iya, Desy kamu gak ajak.”
“Enggak Om. Dia lagi di rumah Oma nagih uang kontrakan.”
“Bagus deh. Om yakin dia bisa jadi istri yang baik. Om tidak mempermasalahkan status dia karena kalo Om pikir dia kayak almarhumah istri Om. Dia mantan janda yang baik yang berhasil membuat Om mencintainya sampai ia pergi menghadap Tuhan bahkan detik ini. Rawat dia yah. Kamu akan dapat pelajaran banyak nanti.”
“Pasti Om. Saya rawat dia sebagaimana orang tua saya merawat saya. Mereka mencintai saya sampai ia pergi ke hadapan Tuhan bahkan sampai sekarang. Saya akan tanamkan itu pada Desy.”
Gue menjemput Desy ke rumah Oma setelah pulang kerja. Tidak enak sebenarnya karena waktu menunjukkan pukul 1 malam. Pasti mengganggu mereka yang istirahat. Ibunya Desy mengirim pesan menanyakan perihal anaknya. Gue menjawab dengan jujur dan lugas. Respon dari ibunya Desy hanya menitipkan anaknya dengan hati-hati. Setiba di rumah Oma gue langsung mengetuk pintu.
Tak butuh lama, pintu itu dibuka oleh Desy yang belum tidur. Ia menyambutku penuh senyuman. Ia menyuruhku duduk di ruang tamu sedangkan ia membuatkan kopi susu di dapur. Padahal kita belum jadi suami-istri tapi malam ini hawanya seperti kita sudah berkeluarga.
Dia tak hanya membawa kopi susu tapi juga semangkuk sup ayam yang ia sama Oma masak setelah menagih kontrakan. Yah meski masakan hangatan tapi gue gak merasa kurang nyaman sebab Desy sudah menjamu gue penuh kehangatan. Dia bertanya tentang hari pertama gue kerja. Dengan semangat gue menjawab lancar dan aman walaupun agak kewalahan menghadapi banyaknya orang yang datang membludak tiba-tiba.