Turut berduka cita atas meninggalnya teman sekelas kami sekaligus ketua kelas karena kecelakaan minggu pagi. Gue, Desy, Tyo dan Ujo melayat siang ini naik mobil gue. Pakaian serba hitam-hitam telah kami kenakan sebagai bentuk keprihatinan sekaligus tradisi kayak difilm maupun sinetron. Kami semua tak tahu jalur alamat teman kami yang meninggal dan satu-satunya cara menggunakan maps. Lo tahu kan kalo gue punya cerita kelam soal aplikasi ini.
Gue masih berdebat sama mereka bertiga untuk menemukan solusi lain. Tyo menjabarkan semua teman-teman sekelas kita di grup tidak ada yang pernah main ke rumah ketua kelas. Satu, jauh dan kedua rawan macet kalo jam kerja. Untungnya ini akhir pekan semoga tidak macet. Yah sampai akhirnya gue menuruti mereka menggunakan maps.
Gue baca bismillah 33 kali dan memohon kepada Tuhan dalam hati agar selamat pulang pergi. Dua jam kemudian aman. Tak ada macet dan tak dibuat nyasar. Sayangnya mayatnya sudah dimakamkan setengah jam yang lalu. Jadi kita berempat hanya bertemu keluarganya lalu pamit pulang. Kita juga gak akrab sama keluarganya.
Perjalanan pulang cuaca mendung parah. Udara dingin menusuk semua lapisan kult gue bahkan kekasih gue dan kedua teman gue. Desy berinisiatif mematikan AC tapi dinginnya malah makin menjadi-jadi.
“Wah jangan-jangan teman kita ada di sini. Dia mencari kita karena tadi siang belum bertemu,” celetuk Tyo gak punya otak. Gue rasanya ingin menabok kepalanya tapi sedang fokus menyetir. Bagusnya Ujo mewakili.
Desy tegur Tyo supaya jangan bicara sembarangan. Kami orang kota. Lahir di Jakarta yang banyak mikrolet ketimbang humor-humor mistis yang norak. Tapi bagaimana pun juga merinding rasanya ketika ucapan Tyo barusan terlontar. Perjalanan dilanjutkan dengan aman. Tapi begitu keluar tol dalam kota, kita berempat berada di tempat asing. Patokan-patokan yang biasa kami paham pas pulang kuliah seperti gedung-gedung dan pertokoan yang saling berjejer. Namun kiri kanan hanya sawah dan kebun pisang.
Desy bertanya. “ Emang masih banyak yah kebun dan sawah di Jakarta?”
Tyo menyahut dengan nada bercanda. “ Yah gak banyak Des. Yang banyak mah cuma namanya aja. Kebun Kacang, Kebon Baru, Sawah Besar dan Srengseng Sawah.”