Satu bulan menjelang pernikahan gue dan Desy mulai sibuk dengan pernak-pernik pesta. Pakaian pengantin, cincin, seserahan telah kita persiapkan. Begitu pun gedung untuk kita memanjakan para tamu. Klop. Kini waktunya menyebar undangan online ke grup alumni SMP, SMA, grup keluarga besar, grup kampus yang seketika rame dengan dukungan dan doa restu dari masing-masing teman kita.
Desy juga sibuk belajar masak. Ia tak mau kejadian seblak jahenya terulang meski kakak gue menyukainya. Hampir setiap pulang kuliah ia selalu mengirimkan gambar baik foto maupun video kebersamaannya bersama sang ibu. Gue menyempatkan melihat disela-sela bekerja dan itu jadi obat semangat gue ketika merasa lelah. Desy sudah paket lengkap. Cantik, baik, mandiri, kuat.
Dia berusaha mematahkan pandangan buruk orang lain yang melihat dia lemah, bekas dan gagal. Gue inget dulu saat ia ribut sama cewek fakultas seni yang menjelekkan dia karena statusnya yang baru menjadi janda. Desy tidak terima. Ia menantang tinju di atas ring. Teman-teman sekelas menganggap Desy terlalu berlebihan dan banyak yang menganggap dia bakal kalah. Tapi gue enggak. Desy pemberani.
Gue tahu dan dia juga tahu kalo banyak orang yang tak suka dan menganggap rendah. Jadi bahan cemoohan grup satu kampus, dosen-dosen bahkan sampai rektor tahu tentang dirinya. Tapi dia cuek aja. Sikap masa bodo ia pamerkan kepada haters-hatersnya. Pertandingan tinju dimulai di gedung olahraga kampus. Banyak orang yang taruhan dan mendukung lawannya Desy. Mungkin yang mendukung Desy hanya beberapa orang termasuk gue. Ujo dan Tyo tidak mau ikut campur.
Pertarungan berlangsung sengit. Mereka saling memukul penuh kekuatan. Desy babak belur di bagian wajah tapi dia pemenangnya. Penonton tidak menyangka, gue tersenyum bahagia.
Gue menemui dia seorang diri di taman belakang kampus. Begitu serius meredam nyeri yang menodai wajah cantiknya itu dengan segenggam es batu. Merah membiru mendominasi pelipis kirinya, darah mengucur di tepi bibir.
Ia menatap heran begitu gue berdiri di depannya. Matanya tajam lama berkedip. Gue tersenyum lebar dan berharap dibalas dengan senyuman juga tapi malah bibir kecut yang ia pamerkan.
“Selamat! Kamu hebat.”
“Aku kira aku tidak punya pendukung.”
“Sedikit pendukung aja kamu hebat. Apalagi banyak.”
“Sudah. Selamat doang.”
“Kamu sabtu malam kosong.”