Ma-ma-ma-ma
Ec-ci ( Desy )
A-a, e-nan ( Aa Renal )
Ini suara Resha yang lagi asik main sama Desy di rumah. Desy senang banget sama suara dan tingkah laku keponakan gue. Sama hal dengan kakak gue yang lagi dekat dengan orang baru. Seorang manajer pemasaran yang beberapa minggu baru masuk di kantornya. Dia menunjukkan fotonya ke kita dan gila, ganteng banget mirip artis luar negeri. Liam Hemsworth. Desy pun terpikat. Gue kalo jadi cewek juga auto suka.
Benerkan kata gue. Lagi-lagi nyarinya berondong impor
“Mamanya orang Kanada, nikah sama orang Samarinda. Dia kuliah di universitas di Amerika gitu,” ucap kakak gue.
“Terus kenapa dia gak kerja di sana aja Kak ?” tanya Desy sembari bermain dengan Resha yang anteng duduk disamping-Nya.
“Gue kurang tahu kalau itu. Ah, intinya gimana gue bisa ngedate makan malam pertama sama dia. Itu yang harus gue buru,” balasnya berambisi.
Kakak gue kalau udah kasmaran pasti ambisius. Apa pun bisa jadi peluang demi merebut hatinya. Seperti siang ini, gue mau berangkat kuliah tapi mobilnya tiba-tiba gak ada. Eh kakak gue WA mobilnya lagi di pake ke kantor dan sudah izin sama Desy soalnya gue belum bangun. Katanya sih dia sama karyawan baru itu mau ketemu klien di Sarinah. Terpaksa dah naik taksi online.
“Tadi Kakak kamu jam enam udah rapi banget. Wanginya kayak apa yah ?” tanya Desy menggantung kalimat sekaligus menunggu taksi online datang menjemput.
“Kayak kuburan baru.” Gue agak ketus sedangkan Desy tertawa terbahak-bahak.
“Ih jangan gitu akh. Kakak kamu lagi pedekate tahu. Wajarlah kalo penampilannya maksimal. Kayak kamu gak pernah aja” Desy menanggapi.
“Aku juga biasa-biasa ah deketin kamu gak selebay orang-orang. Kamu juga kan ?” bantah gue santai.
Desy mengangguk kemudian ikut membantah.”Yah walaupun gak bagus-bagus amat senggaknya aku pernah bikin kamu pangling saat aku pakai gaun. Kamu sujud , pasti sambil bilang oh Tuhan, nikmat mana lagi yang aku dustakan. Ya kan?”
Gue mati kutu. Gue gak mau ada perdebatan di ruang tamu dan gue lemah kalo adu argumen sama perempuan. “Iya, kamu cantik kok walaupun pake bra doang.”
“Apaan sih. Porno deh.” Desy menepuk pundak gue. Suara tawanya mewarnai ruangan. Untungnya tukang taksi sudah datang sebelum otak gue kemasukan setan. Sofa yang kita duduki bisa jadi tempat pertandingan 45 menit lagi. Gue menuntun Desy bak Ratu Inggris sampai ia duduk nyaman di kursi belakang.
Sekilas gue memandang dirinya sebelum menutup pintu.
Iya, dia cantik dengan baju hamil bunga-bunga.
Desy tertidur di tengah kemacetan yang gak gue duga-duga. Sepertinya kami terlambat. Gue yang duduk di samping sopir mulai mengajaknya berbicara tentang hal apa saja demi mengaburkan suasana yang hening nan dingin akan AC mobil.
“Udah berapa tahun Mas jadi taksi online? “
Supir itu menjawab dengan logat Jawa kental, sopan lagi.
“Lima tahun Mas. Begitu datang ke Jakarta saya langsung daftar.”
“Bapak emang asli mana? “ tanya gue penasaran.
“Solo Mas. Kalo mas pasti asli sini yah? “
“Iya Pak.”
“Pantas tidak ada logat Jawa.”
“Hahahaha. Enak gak pak ngerantau di sini? Jakarta keras loh Pak.”
“Yah begitulah. Belajar kenalan sama macet jalanan. Sebenarnya orang Jakarta hebat-hebat loh Pak. Orangnya pasti sabar-sabar. Soalnya dikit-dikit macet terus lancar entar macet lagi. Orang Jakarta begitu lahir ia sudah menghirup udara yang kotor dan teriknya bukan main. Enggak kayak di kampung. Paling macet kalo ada sapi lewat. Makanya orang yang tahan banting bukan orang kampung lari ke Jakarta tapi orang Jakarta yang banyak menghadapi orang-orang kampung kayak saya yang setiap tahun ke sini. Itu masih banyak yang jadi pengangguran. Mas udah kerja toh?”
“Alhamdullillah sudah kerja, kuliah mau semester enam dan sudah berkeluarga.”
“Bagus kalo gitu Mas. Itu artinya Mas sudah berani tanggung jawab, tinggal gimana Mas menjaganya agar tetap utuh sampai tua kayak saya yang mau kepala enam.”
“Iya Pak. Makasih atas wejangannya. Saya akan rawat surga yang telah Allah titipkan,” balas gue menatap Desy yang semakin pulas.
Gue melirik jam, memperkirakan waktu yang pasti terlambat. Gue telepon Tyo untuk titip absen. Setelah itu gue meminta supir mengubah tujuan ke Kebayoran Lama. Gak apa-apa meski ongkos nambah. Mumpung searah.
“Loh kok kita ke sini? “ tanya Desy terkejut setelah nyenyak tidur.