Dua ranjang berukuran sedang berisi macam-macam buah tersandar dibangku depan samping gue duduk. Posisi bulan sudah di atas kap mobil, waktu juga menunjukkan pukul setengah satu. Desy membukakan pintu begitu gue tiba di depan rumah bersama Caca digendongnya. “Kamu belum tidur? “ kata gue.
Iya menggoyang-goyangkan tubuhnya, menenangkan Caca yang kedua matanya belum meram tanpa menangis.” Caca belum tidur,” ucapnya tersenyum.
Gue meletakan dua ranjang buah itu di sofa kemudian mengambil alih Caca berharap ia cepat tidur kalo ayahnya yang menimang. “Gantian aku yah. Kamu istirahat sana. Aku juga istirahat dulu sebelum tidur.”
“Kamu pasti capek banget. Gak apa-apa kok, biar aku aja.” Desy berusaha menolak namun gue kuat membantah. “Udah.”
“Oke, aku bikinin teh manis yah,” kata Desy langsung balik badan menuju dapur sebelum gue melakukan penolakan lagi. Duh, gue cuma mau dia istirahat bukan melayani gue. Kedua matanya udah layu banget.
Gue terus menimang sampai Caca berhasil tidur dan Desy kembali dengan segelas teh yang ia bawa. Ia ambil alih Caca untuk dibawa ke kamar kecilnya diikuti gue yang malah ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri. "Aku mandi dulu."
Sepuluh menit sebelum tidur kita sempatkan diri berbicara mengenai hari ini.
“How’s your day Babe? “ tanya gue.
“Fine. Caca dari sore anteng, nangis paling kalo dia pup, minta ASI. Mungkin hari pertama jadinya bebannya belum banyak. Oma tadi sebelum pulang ia ngasih aku sesuatu kayak tips-tips merawat bayi yang baik, menjaga kesehatan bayi dan hal yang harus aku lakukan setelah melahirkan yaitu kayak ikut yoga. Seru deh,” ucap Desy antusias.
“Waw, syukurlah tapi kamu gak kewalahan kan setiap sore sendirian?”
Desy menggeleng yakin. “Gak kok. Aku baik-baik aja. Udah, jangan khawatirin aku. Kamu fokus kerja aja nanti kalo salah dimarahi Om Sony loh. Hehehehe.”
“Oke, aku pegang kata-kata kamu.”
“Kalo kamu gimana tadi di kafe.”
Gue diam sejenak. Maaf tidak bisa jujur soal kehadiran ibunya Desy jadi gue hanya berbohong. “Kafe rame, makanan habis sampe-sampe aku gak bisa nyicipi masakannya. Kafe Om Sony makin hari makin banyak pelanggan. Aku jadi semangat bekerja.”
Desy bertepuk tangan sambil tertawa manis. “Wih, semangat suamiku.”
Bener kata ibunya Desy. Dia lagi bahagia-bahagianya. “Tidur yuk. Besok kan ada UAS Des. Kamu udah belajar.”
“Oh, udah kok walau sebentar karena ke ganggu Caca. Kamu belum kan?”
Gue menggeleng pasrah.
“Ya udah, besok subuh kamu sempetin belajar yah.”
Desy mandi jam 4 pagi. Gue yang kebetulan sedang momong Caca yang terbangun menegur aksi bini gue yang agak bikin gue takut. Air sedang dingin-dinginnya jam segini. Takutnya meriang saja. Ia terkejut begitu pintu kamar mandi kamar dibuka. Dengan tank top dan handuk yang mengikat kepalanya ia memasang wajah curiga. “Kamu mau mandi Ay?”
“Aku yang bertanya. Kamu gak meriang mandi jam segini?”
“Aku mandi wajib Ay sebelum waktu subuh. Habis ngelahirin kemarin aku belum sempat.”
Gue malah diam bukannya berdebat atau melarang dia mandi larut pagi lagi. Desy meminta gue memberikan Caca yang kembali tertidur pulas. “Aku buatin teh yah. Biar gak masuk angin.”
Desy tersenyum, matanya memancarkan cahaya kebahagiaan yang bikin gue auto malu-malu. “Boleh, gulanya lebihan yah.”
“Jangan,” tolak gue.
“Kenapa?”
“Kamu udah manis.”
Tangan kirinya mencubit lengan kanan gue. Katanya gemas. “Udah, akh. Subuh-subuh ngegombal. Oh iya. Nanti subuh bareng yuk Yank. Mumpung kamu bangun pagi.”
Gue hanya mengacungkan jempol lalu bergegas ke dapur yang berada di lantai bawah.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Gue selesai memimpin salat subuh. Desy mencium punggung telapak tangan gue sebagai tanda hormat sang istri. Sungguh, cantik dan indah sekali dia dibalut mukena pemberian ibunya. Udah berapa pagi yang gue lewatkan padahal ada bidadari setiap menjelang subuh di rumah. Selanjutnya gue memimpin doa dan Desy bantu mengaminkan.