Keesokan hari, pukul 1 pagi gue mengantar Desy ke klinik 24 jam. Wajahnya terlihat lesu sekali saat gue menengok ia duduk bersandar di samping gue. Caca sudah pulas di belakang mobil. Hujan yang deras melajukan mobil dengan pelan dan hati-hati. Desy masih bisa diajak ngobrol bahkan bercanda tapi hanya sebentar lalu kembali diam memijit-mijit keningnya dengan manis.
“Bentar lagi Yank. Masih tahan kan? “ tanya gue. Desy mengangguk.
“Nanti pagi kita jadi gak ke Lembang. Liburan sekaligus bulan madu? " tanya gue fokus menyetir.
“Gak tahu Ay. Kepalaku sakit banget,” ucap Desy lemas.
“Pulang aja. Kamu bisa istirahat lebih lama. Nanti aku panggil Oma buat buatin jamu. Gimana?" usul gue.
“Iya, maaf yah udah ngerusak bulan madu kita.”
Gue mengusap halus kepalanya. Ia tersenyum. “ Aku lebih peduli kamu sembuh dari pada bulan madu. Kan bisa kapan-kapan lagi. Caca umur setahun, dua tahun atau pas kamu sembuh.”
“Terserah kamu aja.”
Kita tiba di klinik yang sebelumnya telah kita amati dari Google. Alhamdulillah, tempatnya sesuai dengan yang di foto internet. Ada lima sampai sepuluh pembeli yang juga mendadak butuh obat sama seperti gue dan Desy. Sambil menunggu antrian, gue dan Desy memandangi wajah Caca yang mirip gue. Aura kecantikannya seperti ibunya. Nomor antrean gue di sebut. Gue dan Desy yang menggendong Caca menjelaskan bergantian soal keluhan Desy.
Setelah penjelasan, apoteker itu paham dan sigap memberikan obat tablet yang paling direkomendasikan juga harganya paling terbaik dari beberapa obat lain yang ia sempat tawarkan. Tanpa pikir panjang, gue membeli. Demi Desy, gue ikhlas keluar dikit lebihan.
Setengah jam kita kembali lagi di villa. Obat langsung diminum lalu Desy tertidur setengah jam kemudian di sisi pundak gue. Obatnya bikin cepat kantuk. Untung Caca sudah dibawa ke kamar terlebih dahulu. Dia menggenggam tangan gue. Di atas sofa gue merasakan kenikmatan romansa suami-istri muda. Jari gue menyentuh daging bibir Desy yang merah jambu. Gue dekatkan wajah gue lalu mengecupnya hati-hati agar tidak mengganggu mimpi indahnya.
“Selamat malam sayang,” ucap gue pelan.
Bandung terus hujan hingga pukul 7 pagi ini. Aroma kopi dan teh di atas meja makan menenangkan suasana hati keluarga kecil gue. Caca sedang asik bermain di kereta bayinya. Ibunya menyesap teh hijau yang begitu manis. Rasa sakit yang semalam ia derita mereda pasca salat subuh berjamaah tadi.
“Sayang yah padahal pengen jalan-jalan pagi tapi malah hujan,” ucapnya menatap gue sedikit sesal. Gue menjabat jari-jemarinya, meraba halus punggung tangannya yang terang. “Gak lama kok. Nanti juga reda.”
Desy hanya mengangguk yakin tapi ternyata Tuhan tidak berpihak pada kami. Hujannya semakin deras hingga tengah hari. Akhirnya kami putuskan membuang waktu dengan memasak. Lagi-lagi dapur dan peralatan masak yang jadi permainan kami. Caca tengah terlelap dan kami leluasa. Kakak gue datang di tengah kemesraan kami. Panggilan video ia lancarkan dan kami kini bertatap muka di layar ponsel masing-masing.
“Cie yang jalan-jalan. Honeymoon nih ceritanya. Resha kangen lo nih.” Kakak gue bersuara heboh.
“Resha atau lo Kak,” tanya gue ledek. Desy terkekeh.
“Yah lebih tepatnya gue kangen Caca. Mana tuh si cantik,” kelaknya.
“Baru Boci Kak. Dari tadi main terus.”
Raut wajah kakak gue langsung bete. “Yah, balik kek kalian cepet-cepet. Gue sekalian mau kenalin gebetan baru gue.”
“Weh, jadi ngejar yang kemarin.” Gue membelalak kaget, Desy kaget dan bingung. “Ambisi lu masih besar aja.”
Kakak gue auto sombong. “Weh, gue tuh kalo udah srekk sama orang yang gue suka bakal gue kejar sampe dapet.”
“Hati-hati. Jangan kayak kemarin.” Gue cekikikan, Desy yang fokus menyimak menutup mulutnya, menahan tawa.
“Gak dong. Ini aman terkendali. Buruan balik ke Jakarta.”
“Iye-iye.”
Obrolan selesai. Gue dan Desy melanjutkan masak sayur tumis capcai dan sosis saus mentega. Walaupun suka makan di restoran, kami sengaja membawa bahan-bahan masak karena mulai sekarang Desy memprioritaskan makanan buatannya sendiri. Makanya, Desy kalo liburan menginap diusahakan vilanya ada dapur. Syukur-syukur ada alat masaknya.
“Enak gak.” Desy menodongkan sesendok tumis capcai yang telah ia masak.
“Mantap,” balas gue mengacungkan jempol. Desy tersenyum dan mencium pipi gue sebagai balasan.
Oma masuk rumah sakit. Ia dirawat akibat terpeleset di kamar mandi dan mengalami luka cukup serius di tulang ekor. Kakak gue menelepon gue dengan keadaan sungguh panik yang menyebabkan gue dan Desy memutuskan pulang ke Jakarta. 2 jam lebih 30 menit kita tiba di rumah sakit Oma di rawat. Keadaannya belum sadar sejak pertama kali masuk tadi pagi.
“Oma ditemui sama temannya yang kebetulan main ke rumah tergeletak di kamar mandi. Dia telepon gue pake hapenya Oma. Terus kata dokter, Oma cedera tulang ekor dan itu serius. Jadi Oma kemungkinan di operasi,” kata kakak gue risau.
Gue mengelus pundaknya, Sangat disayangkan kejadian yang menimpa Oma. Desy menenangkannya dengan bersabar sembari menggendong Caca yang sudah bangun dari tidurnya.
“Sabar Kak. Mudah-mudahan aja gak lama Oma menghadapi penyakit ini.” Kakak gue mengangguk. Om Sony datang satu jam kemudian dibarengi Oma yang siuman. Alhamdulillah, kita berempat bersyukur Oma masih bisa diajak berbicara dan tersenyum. Ibunya Desy sedang bantu temannya di acara nikahan tapi ia menyusul nanti sore.
“Maafin Oma sudah repotin kalian. Renaldi, Desy apalagi. Oma menghancurkan liburan kalian.” Oma memelas, merintih perih dalam posisi tengkurap.
“Gak Oma. Kita yang justru khawatir Oma kenapa-kenapa. Desy selama perjalanan pulang tadi wajahnya lesu, berharap Oma tidak apa-apa.”
Oma tersenyum di hadapan Desy yang prihatin. Punggung tangannya yang sudah mengerut. “Jangan bilang begitu. Aku sama Renal sayang banget sama Oma. Caca apalagi. Ia juga merindukan Oma. Cepat sembuh yah Oma.”
Resha terkekeh manis. Bocah itu jadi pusat perhatian Oma selanjutnya. Anak mungil yang kakak gue gendong di minta Oma mendekat untuk di cium dan di ajak bercanda. Untungnya suasana hati Resha lagi bagus sehingga ia tak berontak begitu duduk di samping tubuh Oma. Ia bercanda sampai berhasil menghibur kekhawatiran dan ketegangan hati para orang tua.
Penanganan Oma dilaksanakan lebih cepat dari jadwal yang sebelumnya ditetapkan dokter. Oma diperiksa bagian tulang ekor yang cedera di ruang spesialis tulang dan sendi. Dua hari kita sekeluarga besar selalu mendampingi Oma. Kadang gue dan Desy yang jaga pagi dan siang lalu kakak gue dan Om Sony di sore sampai malam. Bergantian.
Menurut pengakuan dokter, Oma tidak bisa langsung sembuh setidaknya butuh waktu 3 bulan atau lebih dalam menangani kasus ini karena setelah di CT Scan, tulang ekor Oma retak. Kami bakalan sibuk di rumah sakit.
“Oma gak apa-apa? Mendingan kan?” tanya Desy menemani Oma
“Kata dokter sudah gak sesakit kemarin. Oma sebenarnya mumet kalo terus-menerus berbaring sampai tulang belakang Oma di obati. Oma kangen main sama kalian di rumah dan geng Oma.”
“Sabar aja Oma. Aku sama Renal bakal di sini jagain Oma sampai benar-benar sembuh. Iya kan Yank,” tutur halus Desy.
Gue mengangguk sembari menggendong Caca.
“Emang apa aja sih yang bakal dikerjain dokter. Kemarin scan terus apalagi nanti? “ kata Oma mulai bete.
“Kita kurang begitu paham tapi Oma yakin aja kalo dokter sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Mereka udah profesional.” Giliran gue yang bersuara.
Oma masih tidak terima atas pernyataan gue terutama dengan kondisi dirinya saat ini. “Ren, Kakak kamu sama Om Sony belum datang? “
Gue menatap jam tangan. “Sebentar lagi kayaknya. Tadi kakak bilang lagi OTW ke sini. Kalo Om Sony kayaknya belakangan.”
“Kakak kamu libur kerja berapa hari?” tanya Oma.
“Hari ini doang. Besok harus masuk lagi soalnya ada meeting penting. Ia pengen seharian jaga Oma.”
“Pulang gih sekarang Ren. Kalian butuh istirahat. Lihat wajah istrimu. Lemas banget habis jagain Oma dari pagi. Gak apa-apa Oma sendiri.”
Desy menggeleng. Ia terus menggenggam tangan Oma. “ Gak kok Oma. Sampai Kakaknya Renal datang baru kita pamit.”