Sudah 2 bulan 2 minggu Oma hidup di kamar rumah sakit. Kemarin masuk operasi tahap kedua. Tulang ekor Oma sudah membaik. Kata dokter tinggal pemulihan saja. Oma sudah bisa berjalan meski masih merasakan nyeri seperti digigit semut merah katanya. Itu ia lakukan setiap hari dengan berjalan santai keliling halaman rumah sakit
Desy mulai sibuk dengan Caca. Kemarin ia juga sempat sakit karena kelelahan. Ia bilang dirinya gampang lemas. Nafasnya terengah-engah, jantungnya sering berdegup kencang setelah melayani Caca dan tangan suka berkeringat berlebih. Hati gue menyangka bahwa apa yang ia alami tak lepas dari cerita rahasia yang masih gue pendam tentang penyakitnya.
Kenapa bukan Desy saja yang jujur. Kenapa ia masih bisa masak sambil bernyanyi, memandikan Caca sambil bercanda, memberikan update drama ke gue dengan serius, tanding 45 menit padahal gue tahu kalo istri gue lagi berusaha kuat.
Menjelang sore dia minta diajari mengemudi mobil. Katanya supaya tidak mengandalkan gue kalo ada kebutuhan mendesak. Lah, gue kan kerja bawa mobil yah. Tapi tidak apa daripada ngambek. Perempuan kan begitu. Harus dituruti dulu, urusan guna gak gunanya belakangan. Mumpung Caca belum bangun tidur gue langsung ajari dia di lapangan dekat taman perumahan.
Mobil gue manual. Jadi harus agak lebih sabaran dalam mengajar. Desy belum bisa bedakan mana rem, mana pedal gas sampai-sampai ia melakukan kesalahan fatal. Ban mobil samping depan dan belakang kejeblos selokan yang ukurannya lumayan besar. Mobil dalam keadaan miring ke kanan.
“AHHHHHH. Ayang. Mobilnya jeblos. Aku kira rem yang aku injek.” Desy histeris.
“Aduh, hati-hati. Ayo keluar. Aku tuntun.” Gue mengajak Desy keluar lewat pintu kiri. Setelah keluar, keadaan mobil kami benar-benar miring kayak Titanic. Kedua ban di sebelahnya terangkat lumayan tinggi.
Gue menepuk jidat sedangkan Desy menatap gue penuh rasa bersalah. Jam menunjukkan pukul 3 sore. Sejam lagi gue berangkat kerja, mobil bermasalah.
“Sayang, maaf. Aku gak sengaja. Maaf, maaf, maaf sayang!!!” Desy menggenggam tangan gue keras.
Gue menenangkan Desy yang takut gue marah. “Ok, enggak apa-apa kok. Udah kita panggil bantuan yah. Untungnya ada beberapa orang sekitar membantu gue mengeluarkan kedua ban mobil menggunakan sistem derek walaupun ban depan bocor dan bumper bawah lecet habis. Jadi harus di cat ulang.
Desy masih menunjukkan rasa bersalahnya dengan terus meminta maaf sampai lupa kalo ada Caca di rumah seorang diri. Sebenarnya gila banget kita meninggalkan anak sendirian di rumah. Gue dan Desy segera meninggalkan mobil di tepi taman dengan berjalan kaki. Keringat kami bercucuran sampai di rumah. Caca sudah terbangun tapi ia tidak menangis.
Desy mengangkat Caca dengan raut wajah bersalah kedua kalinya. “Ya Allah, maafin Mama nak ninggalin kamu sendiri. Ya Allah, maaf.” Desy memeluk Caca erat.
Gue merangkul Desy. Sore ini hanya kata maaf yang sering keluar dari mulutnya. “Desy, aku gak marah. Aku juga minta maaf ninggalin Caca. Kita jadikan ini pelajaran yah.“
Tangisannya tumpah yang membuat pelukan gue semakin kuat.
“Ke rumah ibu kamu yah. Aku takut kamu ditinggal sendirian. Di sana ada Ibu yang bisa menenangkanmu lebih lama. Jangan sendiri kalo suasana hati kamu begini. Mau yah.”
Desy menatap gue kemudian mengangguk mau. Gue tetap kerja meski menggunakan taksi online bareng Desy. Mobil sedang diperbaiki bannya oleh tukang tambal ban depan perumahan. Kalo cat ulang bisa kapan aja. Desy syok, begitu jelas ekspresi wajahnya. Apa pengaruh dari penyakitnya kah? Ah, kenapa malah gue mengaitkan dengan penyakitnya. Setidaknya gue berhasil membawa dia ke tempat yang aman.
“Mas Karun. Boleh saya bicara sebentar.” Gue menghampiri salah satu anak buah gue yang sedang asyik merapikan meja makan.
“Oh, kenapa Pak Bos,” balas ia sopan.
“Rumah kamu di belakang kafe ini kan yah? Gak jauh kan?” tanya gue.
Pegawai ini mengangguk. “Sekitar 700 meteran lah Pak.”
“Kamu bawa motor kan?”
“Iya,” balasnya sambil cengengesan kecil.
“Saya boleh pinjam motor kamu. Saya ada urusan diluar. Mobil saya sedang rusak. Cuma sebentar kok,” rayu gue.
Tanpa pikir panjang, pegawai gue memberikan kunci motor matic. Gue juga mengeluarkan beberapa uang dari dompet. “Nih, anggap sewa. Bensin nanti saya isiin lagi.”