Kita sekeluarga merayakan kepulangan Oma yang telah berhasil melawan penyakitnya. Oma sudah bisa berjalan sendiri tanpa bantuan alat apapun tapi masih dalam tahap rawat jalan. Oma akan ke rumah sakit sebulan 2 kali untuk membeli obat. Senyum Oma merekah menyaksikan cucu-cucunya dan Desy sangat peduli. Pesta kecil-kecilan di ruang tamu Oma dimulai. Masakan yang Desy masak sejak subuh kita santap penuh hikmat. Lagi-lagi Oma memuji kehebatan Desy. Ibunya turut bangga anaknya jadi panutan.
Dalam sela-sela makan, ibunya membeberkan soal Desy masa remaja dan sekolah. Ibunya membuka pengalaman Desy yang sangat introver. Tidak pernah ikut aktivitas sosial di sekolah, ekskul. Palingan dia mau nimbrung kalau ada tugas kelompok. Itu pun dibatasi jamnya dengan alasan acara keluarga. Desy hanya diam tak masalah cerita agak memalukan disebarkan ke keluarga gue.
Tapi keluarga gue gak mempermasalahkan masa lalu. Buat keluarga gue, masa lalu seperti orang buang air besar. Mau tak mau harus di hempaskan saja soalnya kalau ditahan bakalan sakit.
“Maafkan saya kalo tidak punya masa lalu yang baik. Aku dulu emang tidak semangat saja kalo nimbrung sama orang banyak. Maaf,” ucap Desy melemah.
Gue mengusap punggung Desy. “Udah, ayam kamu habisin. Kamu hebat kok. Buktinya bisa menyenangkan kami semua dengan masakan kamu yang selalu enak.”
“Seblak jahe kamu aku suka Des. Padahal itu kesalahan kan? Kesalahan harus dinikmati. Suka gak suka itu urusan belakangan,” sambung kakak gue.
“Ih, kenapa jadi melo begini sih. Oma menerima kamu kok. Oma gak pernah bahas masalah masa lalu orang. Yang penting yang sekarang aja. Udah, Oma bahagia sama anak-anak Oma,” relainya.
Suasana kembali cair. Pesta dilanjutkan hingga selesai.
Tampak wajah murung Desy sedari perjalanan pulang hingga di rumah. Langkahnya begitu cepat menaiki anak tangga menuju kamar Caca. Gue segera menyusul lalu menunggu di depan kamar yang pintunya terbuka. Desy melangkah keluar begitu selesai menaruh Caca yang tidur pulas. Ia menghampiri dengan ekspresi senyum yang menurut pemikiran gue seperti dipaksakan.
“Kamu gak apa-apa? “ tanya gue mengusap punggung Desy.
Desy termenung, wajahnya sedikit menunduk. “Semua rahasia keburukan aku sudah bocor ke keluarga kamu deh. Aku merasa malu. Terlihat seperti bukan manusia baik-baik.”
Gue menghela nafas pendek. “Dapat pemikiran seperti itu dari mana?”
Telunjuk Desy mengarahkan pada dirinya sendiri. “Aku.”
“Kenapa kamu?” tanya gue penasaran.
“Karena aku korban sekaligus pelaku.” Nada bicara Desy datar.
“Kamu merasa dendam sama diri kamu sendiri?” tanya gue lagi berharap menemukan jawaban atas semua kegelisahannya hari ini.
“Kadang pernah aku ingin bunuh diri aku sendiri. Aku muak dengan cerita yang mengalir dalam kehidupan aku dan aku ingin kabur dari diri aku. Tapi aku gak bisa. Aku harus selalu ada sama diri aku sendiri apa pun keadaanku. Menjadi terbodoh pun aku harus mengikuti. Aku kadang bukan manusia melainkan parasit yang bisa berbicara,” jelas Desy tak terima.
Gue tidak membalas penjelasan dia melainkan memeluk erat tubuhnya. Memberikan kehangatan akan hatinya yang sedang membeku. Desy tidak berontak. Ia justru bertanya. “Kenapa meluk? Biasanya cowok menolak, berargumen tinggi sekaligus memuji.”