Entah apa yang membuat Desy memeluk tubuh gue dari belakang pagi-pagi begini. Padahal baru lima menit gue keluar kamar dan ia tiba-tiba melakukan hal itu. Sontak gue kaget bukan main. Pikiran yang bertanya-tanya dibalut kecurigaan kecil membuat gue penasaran.
Ia terus memeluk gue lama sekali dan gue membiarkan itu sampai akhirnya gue bertanya. "Yank? Kenapa?"
Desy terus diam. Kedua kalinya gue bertanya. "Desy? Aku bau kasur loh? Bau iler juga."
Kali ini menjawab. "I don't care. I'm just hold on."
"Mm… Ada apa nih?" tuduh gue.
"Gak ada apa-apa. Emang kamu mencium aroma kecurigaan yah?"
"Yah, biasanya perempuan begitu."
Desy dengan mudah mengaku kalo ia ingin sesuatu dari gue. Biasanya kan tunggu debat panas dulu baru ketahuan ada maunya. " Aku mau nyewa sepeda listrik yang ada di blok sebelah komplek kita. Tapi seharian. Boleh? Yah itung-itung hiburan sama Caca sama mengisi kekosongan akibat cuti kuliah. Gimana?"
Gue tertawa. "Yah, kirain minta skincare atau jalan-jalan ke mal."
"Yah itu nanti aja pas kamu gajian. Kali ini aku gak minta yang muluk-muluk," kata Desy masih memeluk gue.
"Iya, nanti kita main bareng sama Caca. Sekalian olahraga. Caca udah 5 bulan ini. Bisa kan kamu bawa?"
"Iya."
Pelukan Desy baru lepas saat suara tangisan Caca menggema. Ia meninggalkan ciuman di pipi kiri gue sebelum pergi ke kamar Caca. Gue senyum-senyum sendiri. Kurang beruntung apa gue udah dikasih kenikmatan pagi-pagi.
Desy mengemudikan sepeda listrik dengan Caca yang ia gendong depan. Caca sebenarnya sudah bisa duduk tanpa ditopang cuma gue masih melarang Desy untuk menaruh dia di boncengan belakang. Takut jatuh gak ketahuan.Bisa-bisa cedera hasil karya gue sama Desy.
Gue membuntuti Desy menggunakan sepeda yang sama. Sesekali gue melihat ia oleng tapi ia mampu mengontrolnya.
Tawa dan bahagia mereka terasa sampai di benak gue. Jadi ini yang namanya definisi keluarga bahagia. Gue melihat Desy begitu cerah sama seperti Caca yang tak henti tertawa.
"Ren, i love you," teriak Desy lumayan kencang.