3 notifikasi panggilan video tak terjawab menghantui ponsel gue pasca solat subuh berjamaah. Tumben sekali kakak gue hubungi pagi-pagi buta.
"Telepon balik. Penting kali," kata Desy sambil membuka mukenanya.
Panggilan gue luncurkan dan tak butuh waktu lama ia mengangkat. "Hey! Wah!!! Adik gue solat subuh. Tumben-tumbenan lo ibadah gini hari. Lo terakhir subuhan itu pas SMA kelas tiga. Pas mau ujian nasional. biasanya bangun siang apalagi hari minggu begini! Jam 11 baru bangun."
Entah kenapa gue jadi malas berdiskusi dengan perempuan rese satu ini. Desy yang tanpa gue sadari masuk frame cengengesan geli sambil melihat wajah gue yang diam kecut tak berdaya dipermalukan. "Tujuan lo cuma ledek gue pagi-pagi?"
Kakak gue segera meminta maaf. Tawa dibibirnya yang seksi perlahan pudar digantikan pembicaraan serius. "Pacar gue mau datang ke rumah Oma. Awalnya mau ditempat gue tapi dia pengen ketemu keluarga. Pengen kenal lebih dalam. Lo sama bini lo datang yah. Ajak Caca juga. Bantuin gue bikin masakan yang enak. Nanti gue kirimin modalnya. Jam 10 gue sama dia udah di tempat Oma. Kayaknya dia pengen serius sama gue deh. Menurut lo gimana Ren?"
Gue berpikir sejenak dan Desy mengisi kekosongan itu dengan argumennya sekaligus masukan. "Kayaknya iya Kak pacar kakak mau serius. Renaldi juga begitu kok. Main-main ke rumah aku terus nanyain soal pernikahan. Saran aku kalo udah srek banget mending deal-in aja. Mumpung niat dan kemampuan dia setara. Susah loh Kak nyari jodoh yang mau menerima janda. Termasuk Renaldi."
Gue menyambung pernyataan Desy. "Intinya Kak kalo itu terbaik buat lo, bantu arahin dia sampai ia yakin mau hidup sama lo."
Ia mengaku merasa terbantu dengan pendapat kita berdua. "Tapi orang tua dia pernah ketemu lo Kak?" lanjut gue.
"Udah kok. Seminggu yang lalu. Bahkan ia sampai kenalin ke adik-adiknya yang remaja kebanyakan. Mereka menerima gue dengan baik dan ramah. Sekarang yang mesti gue lakuin adalah buat dia yakin dan lengket sama gue sampai pelaminan," ungkap kakak gue ekspresi semangat.
"Sampai tua dan meninggal Kak. Sampai Allah mencabut nyawa salah satu dari kalian nanti," koreksi gue bikin Desy terhanyut dan kakak gue tersentuh lebay.
"Widih, iye Pak Ustadz Renaldi. Ok, jangan lupa jam 10 udah siap. Gue mau nidurin Resha dulu noh. Dari jam 3 gak tidur. Rese tuh bocah."
Panggilan selesai. Informasi penting telah terdengar di telinga kita berdua. Sekarang tugas kami adalah mikir masak apa buat kekasihnya kakak gue.
Dari tadi gue memperhatikan Desy sibuk berpikir. Kepalanya ditopang sebatang pulpen hitam dan dua lembar kertas di atas meja. Tapi kecantikannya nampak bertambah kalo dia mode serius. Gue saja sampai ikut kepikiran kenapa ada bidadari di sebelah gue.
"Udah sayang, jangan yang berat-berat masaknya. Kakak aku gak ribet orangnya." Gue coba membantu Desy memecah kebuntuan. "Masak-masak biasa aja."
"Seblak jahe gitu. Enggak akh. Aku malu buat kesalahan lagi. Apalagi ada tamu istimewa kakak kamu. Jadi aku gak mau kecewain," kata Desy kini menggaruk keningnya menandakan ia masih sangat kebingungan.
"Kamu bisa masakan Kanada? Kamu tahu?" tanya gue menantang.
"Yah gak jauh sih sama makanan Amerika gitu. mac & cheese, macem-macem pastry sama sup." Desy masih kebingungan.
"Kalo menurut aku sih sebaiknya masak-masakan lokal kita aja. Siapa tahu kalo dia beneran jadi bagian keluarga kita, jadinya mulai terbiasa sama masakan sini. Masak masakan yang kamu biasa buatkan buat aku. Ayam goreng, sayur sup, telur balado. Tahu gak, itu masakan terbaik yang pernah kamu buat. Aku suka Des. Aku suka masakan kamu sebagaimana aku menyukai sepenuhnya untuk kamu. Bagaimana?" kata gue diselipkan gombalan.
Ia tersenyum merekah. Pipinya mendadak memerah seperti panda kepedasan. Kayaknya. "Bantuin aku yah."