Desy jatuh dari tangga sehabis Maghrib. Kata Oma setelah ditangani dokter tangan kanan Desy patah, tulang punggungnya cedera dan kepalanya kena lantai karena sempat guling-guling dari atas dengan kencang. Oma yang saat itu sedang bermain di rumah teriak histeris melihat Desy langsung tak sadarkan diri. Beruntungnya tetangga mau membantu Oma membawa Desy ke rumah sakit terdekat
Gue sudah izin dengan Om Sony yang sedang ketemu rekan bisnisnya di luar kota. Ia juga turut prihatin mendengar kabar tidak mengenakkan itu.
Hati tegang, tangan gemetar tapi masih bisa dikendalikan. Kata Oma juga, Caca untungnya sedang bermain dengannya saat kejadian berlangsung. Ia sekarang di tangan kakak gue yang juga sigap datang begitu pula ibunya Desy.
Suami normal mana yang tidak gelisah mendengar istrinya kecelakaan meski di rumahnya sendiri.
"Desy belum siuman. Cepat kesini. Jangan lupa hati-hati kamu , Oma tunggu," ucap Oma tenang dan itu perlahan menenangkan gue juga.
"Iya Oma. Renaldi lagi nyetir."
Gue kasihan melihat istri gue terbaring lemas di rumah sakit. Gue duduk didampingi Oma dan ibunya Desy yang wajahnya sedih sedangkan kakak gue di luar, menghibur Caca bersama Jake karena Caca dilarang masuk.
"Kenapa kejadiannya bisa begini?" tanya gue berusaha tabah.
Oma menjelaskan dengan gamblang. "Sebelum kejadian itu Desy bilang ke Oma kalo tubuhnya lemas banget sejak siang. Detak jantungnya kadang melemah kadang normal dan itu terus berulang. Oma bingung dengan masalah itu tapi Oma bilangin ke Desy suruh istirahat. Nah saat itu juga Caca buang air besar. Desy mengambil pakaian dijemuran lantai atas. Jalannya sudah pelan-pelan tapi Desy terus paksain sampai akhirnya dia jatuh. Maafin Oma gak bisa jagain Desy."
Seketika Oma mengeluarkan air matanya. Ia turut bersalah atas kejadian mengenaskan ini. Ibunya Desy hanya diam sembari mengelus punggung Oma.
"Ini salah Renaldy, Oma. Harusnya aku tahu sejak pagi soal kondisi Desy sebenarnya. Dia seperti biasanya sejak pagi sampai aku meninggalkan rumah yang terlihat ceria dan melayani aku tanpa masalah. Maaf aku kurang lebih perhatian," gue memelas sesekali melihat ibunya Desy dan ia enggan membalas pandangan gue.
Mungkin dia kepikiran soal rahasia Desy yang tidak boleh dibocorkan ke Oma bahkan anaknya sendiri.
Ya Allah. Kuatkan hamba ini yang masih belajar menjadi suami yang baik. Waktu itu kakak gue kemudian lanjut Oma dan sekarang istri kesayangan gue yang harus merasakan rebahan dikasur rumah sakit.
Caca tidak bisa gue pegang. Ia dibawa Oma untuk sementara dirawat karena gue menemani Desy. Tak berselang lama ia sadarkan diri. Kedua bola matanya yang indah itu dia buka perlahan
. "Istriku sudah bangun. Alhamdulillah."
"Sayang." Kata pertama yang keluar dari Desy. Ia masih bisa memanggil gue dengan kata yang romantis meski kepalanya diperban dan tangan kanannya di gips.
"Sayang, sakit. Punggung aku, kepala aku, tangan aku. Sakit." Desy mengeluh, meringis kesakitan.
Gue mengusap pipinya yang pucat sembari berusaha menguatkannya. "Kamu akan sembuh sayang. Jangan sedih yah. Sakit itu biasa dalam kecelakaan. Istriku harus kuat. Kamu harus kuat sayang. Caca rindu sama kamu."
Air mata Desy seketika turun. "Maafin aku. Aku akan berbaring lama. Aku gak bisa buatin makanan enak, gak bisa urus kamu dan Caca buat waktu yang aku belum tahu selesainya. Maafin aku."
Seketika air mata gue juga ikut mengalir begitu ia menatap gue dengan perasaan lirih dan lagi-lagi tugas gue harus menguatkan dia. "Aku bisa handle itu semua. Aku bisa dan aku yakin kamu sembuh cepat. Semangat sayang. Jangan kendor. Percaya sama Allah, percaya sama aku dan keluarga kita dan yang paling penting, percaya sama diri kamu sendiri."
Desy mengangguk pelan. Seketika tangisan itu berhenti digantikan senyumnya yang begitu luar biasa manis. "Terima kasih sayang."