Siang inii Desy pulang lebih cepat. Dari semalam ia merengek minta pulang dengan alasan rindu rumah dan Caca padahal tangannya masih rentan sakit dan beresiko tulangnya bergeser. Tapi apa daya gue dan dokter yang tidak bisa memaksa keinginan Desy dan memilih rawat jalan.
“Maafin aku harus menuntut ini tapi aku ingin cepat pulang. Aku gak bisa lama-lama,” kata Desy memelas ke gue yang sedang mengemas pakaiannya.
“Aku boleh minta satu janji sama kamu,” pinta gue halus. Desy meresponnya dengan anggukkan kepala.
“Jangan kerja yang berat-berat selama dirumah apalagi selama aku kerja. Aku akan usahakan Oma membantu kamu urus Caca. Soal masak biar aku saja kalo sempat kalo tidak kita order di restoran. Setuju.”
“Iya sayang. Makasih udah turuti pintaku yang satu ini.”
Setelah berpamitan dengan dokter dan menerima obat dari rumah sakit, gue terlebih dahulu membawa dia ke restoran untuk makan siang. Yah gak lain makanannya bubur. Desy tak peduli soal perkataan orang perihal bubur hanya untuk sarapan. Selama iya menyukai itu mau pagi sampai malam Desy akan membelinya. Lagian ada kok tukang bubur yang buka siang, sore hingga malam.
Gue menyuapi ia dengan manja sampai-sampai momen kita ditonton beberapa orang yang sedang makan. Terlihat hal yang romantis bagi mereka. Gue dan Desy tidak malu melainkan senang layaknya 2 remaja yang sedang kasmaran.
“Ay, jadi kerja sore ini?” tanya dia disela makan.
“Jadi, aku udah bilang sama Om Sony,” kata gue sembari mengaduk-aduk bubur.
“Semangat kerjanya sayang. Punggung aku udah mendingan kok. Kepala aku juga udah sembuh cuma tangan saja yang masih parah. Tapi is ok.”
Desy yang terlihat ceria sambil menggoyangkan pinggulnya.
Gue mencium keningnya karena kebawa ceria yang ia lontarkan. “Iya, terima kasih istriku. Jangan nakal di rumah yah. Aku mudah khawatir kalo kamu kenapa-kenapa.”
“Aw, segitunya kah? Romantis banget.” Cengir Desy merekah.
Gue mengangguk serius. “Sumpah.”
“Iya, tanpa aku tanya kamu bakal lakukan apa saja untuk aku yang imut ini. Udah lanjutin makannya. Aku mau buru-buru ketemu Caca,” kata Desy meminta gue bergegas.
“CACAAAAAAAAA!!!”
Betapa bahagianya Desy begitu berhadapan dengan Caca yang digendong Oma. Gerakan tangan dan kakinya yang menggemaskan serta suara teriakan senang Caca menggambarkan ia begitu antusias menyambut sang ibu.
“Ya Allah. Anak Mama apa kabar. Kamu makin cantik aja sayang. Mama kangen. Caca kangen enggak,” kata Desy mencubit pipi Caca sebelah tangan sampai ia lupa bersalaman dengan Oma.
Anak gue juga gak kalah bahagianya melihat ibunya kembali mungkin kalo dia bisa bicara, dia bakal curhat karena kesepian. Yah, walaupun ada Oma dan kakak gue sih tapi kan naluri anak tetap membutuhkan sosok ibunya.
Suara Oma mewakili suara anak gue. “Iya, Caca lindu Mama. Mama jayan-jayan teyus yah. Kok Caca gak diajak.”