I Love U !!! Do Not Panic.

Rizky Brawijaya
Chapter #33

END - Konsep Mencintai Istri.

Di lorong rumah sakit yang sepi ,gue menelepon Oma yang masih ditaman bersama Caca. Oma menanyakan kabar ibunya Desy dan gue menjelaskan sedetail-detailnya. Di saat itu juga ada kakak gue dan kekasihnya yang hadir menemani Oma.

Mumpung ada mereka, gue bicarakan perihal donor darah untuk ibunya Desy. Oma kaget begitu juga kakak gue. Ia bertanya-tanya penuh kekhawatiran. Mereka tahu apa yang terjadi jika gue mendonorkan darah ke orang lain karena waktu kejadian SMA, Oma juga kakak gue yang masih belum menikah dan kedua orang tua gue lah yang mengalami langsung.


Beberapa setelah gue mendonorkan darah ke tiba-tiba tubuh gue lemas. Kepala langsung melayang dan pandangan kunang-kunang seperti orang anemia. Gue pingsan setelah beberapa menit transfusi darah.

Cukup lama gue tidak sadarkan diri. Lebih dari dua jam kata dokter waktu itu. Saat gue sadarkan diri pun, gue masih demam tinggi. Tubuh gue gemetar, menggigil. Wajah juga membekak akibat alergi kata dokter setempat padahal gue gak punya riwayat alergi apa pun. Angin seperti jarum dan pedang ketika melintas diseluruh lapisan kulit.

Gue melihat mereka panik terutama almarhumah Mama yang menangis sambil memeluk. Untungnya Tuhan masih menolong gue dengan kesembuhan empat hari kemudian. Mama langsung membuang kartu donor darah gue ke tempat sampah. Ia tak mau anaknya terlibat dengan hal seperti itu lagi. Tapi entah kenapa kartu itu gue ambil lagi dan kembali simpan di dompet sampai sekarang.

“Kalo kejadian lagi bagaimana?” tanya Oma khawatir.

“Gak apa-apa. Kasihan ibunya Desy. Oma juga tahu kan Desy begitu terpukul lihat ibunya koma. Dokter kan sempat memeriksaku. Katanya sehat dan bisa didonorkan segera.”

“Ya sudah, jika itu keputusan terbaik kamu. Oma bantu doa supaya semuanya selamat.”


Tepat pukul tiga sore dokter membawa ibunya Desy dan gue dibawa ke salah satu ruangan. Ruangan yang asing gue tidak ketahui ditambah hanya ada dokter dan beberapa suster yang mengisi keheningan ruangan. Kedua mata hanya menatap langit-langit karena tak berani melihat alat medis yang agak menakutkan.

Oma, Desy, Caca dan kakak gue serta kekasihnya menunggu cemas di luar ruangan. Gue berusaha terima konsekuensinya. Apapun yang terjadi. Rasa sakit mulai terasa saat salah satu suster memasukan selang ke pergelangan tangan. Ada sesuatu mengalir keluar melewati selang-selang yang dipasang. Seperti ada mesin yang menyedot dari dalam.

Tahu gak, yang hanya ada dipikiran hanyalah keluarga. Empat jam adalah waktu yang paling berharga untuk menyelamatkan nyawa satu orang. Dalam hati terus berdoa agar semuanya lancar dan gue sendiri berharap akan baik-baik saja.

Kedua kaki dan pergelangan tangan yang terus mengeluarkan darah mulai terasa nyeri. Keringat di kening mulai bercucuran dan reaksi gatal dibeberapa area wajah yang rasanya gue ingin menggaruknya kencang. Dokter mengisyaratkan gue bahwa ini reaksi yang wajar selama proses berlangsung

Rasa tahan semakin tak terkontrol. Tubuh gue menggigil tak ketolongan. Keringat semakin banyak dan gatal-gatal semakin hebat. Gue meringis meminta tolong dan suster berusaha membantu dengan keahlian dan pengetahuan yang ia punya.

Saat dokter menyatakan selesai dan semua alat terlepas dari tubuh rasanya ada sedikit kelegaan dalam batin tapi kondisi tubuh semakin memburuk hingga tak sanggup menahan sakit kemudian tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kata dokter gue tidak sadarkan diri beberapa menit setelah transfusi darah.


Mama datang dengan wajah panik. Kondis mata masi sayu tapi kedua telinga mendengar Mama sedang menangisi gue.

“Renaldi, bangun Nak. Tubuh kamu panas sekali. Nak!!”

Gue berusaha membuka mata melebar tapi sangat susah sekali. Hanya gambaran kecil yang gue dapat. Suara itu semakin besar dan cukup menyedihkan.

Tapi anehnya bukan suara Mama lagi. Perlahan suara itu berubah mirip dengan suara tangisan istri gue, Desy.

“Ayank. Sadar dong. Aku khawatir. Sayang !!”

Mata dengan mudah terbuka melebar. Langit-langit kamar rumah sakit sudah bisa aku saksikan dengan detailnya. Kedua mata ini langsung berpindah pada sosok pasang mata sang bidadari yang basah. Kelopak matanya yang indah tertutup genangan air jernih yang spontan kedua tangan mengusapnya.


Tangisannya berubah jadi tawa ringan. Senyuman kembali merekah dalam diam.

“Renaldi. Alhamdulillah kamu sadar.”

Lihat selengkapnya