> "Jika cinta adalah rumah, maka aku sedang tersesat di tiga alamat yang berbeda."
— Erik
---
"Kamu percaya... seseorang bisa jatuh cinta lebih dari sekali, tapi hanya satu yang benar-benar tinggal?"
Pertanyaan itu entah muncul dari mana, tapi menggema di kepala Erik seperti mantra yang tak mau pergi. Malam itu, ia duduk sendiri di bangku taman, menyatu dengan sepi dan desir angin yang menggelitik wajahnya. Langit terbentang luas, kelam namun tak sepenuhnya gelap—seperti hatinya.
Ada cahaya samar yang masih bertahan, meski digempur keraguan yang tak pernah benar-benar pergi.
Suara jangkrik bersahut-sahutan dari balik semak, seperti nyanyian sunyi yang hanya bisa dipahami oleh hati yang sedang kosong. Lampu taman memancar kekuningan, membentuk lingkaran cahaya kecil yang terasa terlalu jauh dari dirinya. Di samping kakinya, selembar daun jatuh perlahan, mendarat seolah membawa pesan yang tak terucap.
Erik menarik napas panjang. Udara malam lembap dan menggigilkan, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Yang membuat dadanya berat adalah suara-suara yang tak bisa ia matikan dari dalam kepalanya—dan hati yang seolah sedang dipertaruhkan oleh takdir.
Bagi Erik, cinta adalah sebuah ziarah jiwa. Ia bukan pria yang mudah terpikat oleh kecantikan, apalagi cinta ala sinetron yang penuh drama buatan. Cinta, baginya, adalah janji sunyi yang menembus ruang dan waktu. Komitmen, kesetiaan, dan keberanian untuk tetap tinggal saat badai datang.
Tapi, bahkan peziarah seteguh Erik pun bisa goyah.
Ia telah membuat aturan untuk hatinya sendiri, tembok-tembok logika yang kokoh—namun semua itu bisa runtuh hanya oleh sepasang mata, atau satu panggilan pelan dari suara yang terlalu ia kenal.
Cinta tak pernah datang sesuai rencana, pikirnya. Ia datang, menyerbu, lalu diam di sana—mengisi ruang yang bahkan tak kita tahu ada.
Telepon genggamnya bergetar pelan di dalam saku. Erik melihat nama yang muncul: Maria.
Ia tidak menjawab. Hanya menatap layar itu selama beberapa detik, lalu mematikannya. Tak ada kata yang pantas malam ini. Bukan karena ia tidak ingin bicara. Tapi karena ia takut, suara Maria bisa mengembalikannya ke jalan yang tidak lagi ia yakini.
---
Maria: Cinta yang Tertata, Tapi Tak Penuh
Maria adalah cinta pertama Erik. Gadis berambut lurus, langkahnya tegas, pikirannya lurus ke depan. Sejak kecil, Maria dibesarkan dalam dunia angka, prestasi, dan tuntutan untuk “selalu bisa.”
Cinta? Bukan prioritas. Ia hanya pelengkap—seperti vas bunga di ruang tamu: indah, tapi bukan kebutuhan pokok.
Erik mengingat pertemuan pertama mereka di sekolah dasar—Maria masih bisa tertawa lepas waktu itu, meski tetap sibuk jadi juara kelas. Ia masih ingat betapa Maria kecil pernah mengusulkan nama grup belajar mereka: “Kita Hebat.”
> “Karena kita nggak boleh biasa-biasa aja,” ucap Maria dengan mata berbinar waktu itu.
Kini, bertahun-tahun berlalu, mereka bertemu kembali di bangku kuliah. Hubungan mereka berjalan rapi seperti agenda kampus. Mereka berkencan seperti menjadwalkan rapat. Ucapan selamat pagi dan selamat malam mereka terdengar seperti laporan harian.
Tapi… tak pernah benar-benar menyala.
Maria mencintai, tapi dengan batasan. Erik mencintai, tapi ingin dilihat utuh. Dan di antara mereka, selalu ada jarak yang tak pernah mereka akui.
> “Kenapa kamu nggak pernah benar-benar hadir, Mar?”
Erik pernah bertanya suatu malam, saat mereka duduk di mobil, hujan mengetuk-ngetuk kaca.
Maria hanya diam. Menatap lurus ke depan.