Ada tempat-tempat di dunia ini yang tidak hanya menyimpan keindahan, tapi juga merawat perasaan. Bali adalah salah satunya. Bukan hanya tentang laut dan langitnya yang seolah tahu caranya menenangkan jiwa, tapi tentang bagaimana dua hati yang awalnya tak saling mencari—justru saling menemukan. Di antara pasir yang tak menuntut jejak, dan senja yang tak pernah terburu-buru, cinta Erik dan Aleksandra tak tumbuh gegas. Ia tumbuh perlahan, tapi pasti—seperti ombak yang tahu persis kapan harus mencium bibir pantai.
---
Hari-Hari yang Tumbuh Perlahan
Suasana Bali tak hanya menghadirkan sinar mentari yang lembut dan pasir putih yang hangat, tapi juga menghadirkan ruang bagi dua hati untuk tumbuh perlahan. Erik dan Aleksandra, yang semula hanya dua kutub berbeda di kampus, kini menjelma menjadi dua insan yang tak terpisahkan. Mereka menjelajahi pulau Dewata bersama, dari matahari terbit di Sanur hingga langit senja di Uluwatu, dan setiap langkah terasa seperti menulis babak baru dalam hidup mereka.
Malam itu, mereka duduk di pantai yang sepi. Hanya suara ombak yang memecah keheningan, sementara langit malam menebar taburan bintang seperti lembaran cerita yang belum selesai.
"Aku ingin kita datang ke sini lagi suatu saat nanti," bisik Aleksandra, menatap langit dengan mata yang berkilauan.
Erik menoleh pelan, senyum mengembang di wajahnya. "Aku juga, Alek. Tapi kalau boleh minta lebih... aku ingin datang ke sini lagi cuma sama kamu. Tanpa siapa-siapa. Nggak ada yang ganggu. Nggak ada agenda. Cuma kamu dan aku."
Aleksandra menoleh, wajahnya mendekat, napasnya terasa di kulit Erik. "Aku suka kamu ngomong gitu. Seolah dunia ini bisa kita miliki berdua."
"Memang udah kerasa kayak dunia milik kita aja, Alek. Yang lain kayak numpang hidup."
Mereka tertawa kecil, namun tawa itu sarat makna. Saling bersandar, saling berpelukan, seakan mereka tahu betapa berartinya waktu yang sedang berjalan.
---
Digoda Teman-Teman
Esok harinya, saat matahari belum terlalu tinggi, rombongan teman-teman mulai berkumpul di pantai. Erik dan Aleksandra berjalan sedikit lebih jauh, bergandengan tangan tanpa ragu. Beberapa teman mereka memperhatikan dengan senyum geli.
"Ciyyeee... dunia serasa milik berdua aja nih," seru Saskia, sahabat Aleksandra yang dikenal cerewet.
Dita ikut menimpali, suaranya setengah berteriak. "Lex, awas lho! Si Erik itu playboy kampus. Kemarin emakku aja hampir dia tembak, tau nggak!"
Aleksandra tertawa geli, lalu menoleh ke Erik. "Nah, ngaku deh, kamu pernah godain emak orang juga ya?"
Erik mengangkat tangan, pura-pura pasrah. "Demi Tuhan dan sepiring nasi jinggo, aku nggak kenal emak Dita, sumpah!"
Teman-teman mereka tertawa. Tapi ada pula beberapa mahasiswa lain yang tidak terlalu akrab, ikut memperhatikan dari jauh. Salah satu dari mereka, seorang cowok bertubuh tinggi dan berkacamata, memberanikan diri mendekat.
"Aleksandra, boleh nggak... foto bareng?" tanyanya sedikit ragu.
Aleksandra menoleh ke Erik sejenak, lalu tersenyum jahil. Ia mendekat, berbisik di telinga Erik, "Sayang, aku boleh difoto sama mereka? Maklum... orang-orang nora, belum pernah ketemu orang cantik."
Erik nyengir. "Iya deh, bintang kampus. Tapi abis itu balik ke aku, ya."
"Selalu," jawab Aleksandra dengan kedipan mata.