I Love You Beyond the Word

Rajasa Buana
Chapter #8

Bab 8 Jejak terakhir Cinta kita


Kadang perpisahan tak datang dengan suara gaduh, tapi lewat detik-detik sunyi yang kita lewati tanpa sadar. Ia tak mengetuk pintu, tak membawa koper, hanya menyelinap pelan di sela tawa yang makin jarang, dalam pelukan yang makin dingin, dalam tatap mata yang makin berat untuk bertahan. Dan di saat kamu masih mengira semuanya baik-baik saja… seseorang diam-diam telah menyiapkan cara paling lembut untuk pergi.



---


1. Perjalanan Akhir Tahun yang Bermakna


Kereta melaju dari Bandung menuju Jakarta, membelah sore yang temaram. Di dalamnya, Aleksandra duduk di samping Erik, bersandar ke jendela dengan tatapan kosong. Di luar, langit kelabu berarak pelan, seolah menyesuaikan irama hati yang tak sepenuhnya tenang.


“Capek?” tanya Erik sambil menyender sedikit ke arahnya.


“Nggak juga. Aku senang kok bisa ke Jakarta,” jawab Alex, mencoba tersenyum. “Udah lama juga nggak main ke rumah Kak Dhea.”


Perjalanan itu sebenarnya sederhana—liburan akhir tahun ke rumah kakaknya di Jakarta. Tapi bagi Aleksandra, perjalanan ini lebih dari sekadar liburan. Ini adalah cara paling halus untuk berpamitan, meski tanpa mengucapkan kata perpisahan.


Sepanjang perjalanan, Alex berusaha tetap ceria. Ia mengajak Erik ngobrol tentang masa-masa kuliah, obrolan lucu di kampus, rencana fiksi yang dulu pernah mereka bicarakan—tentang punya rumah kecil, kebun herbal, dan warung kopi kecil dengan lagu lagu David Foster mengalun di sudutnya.


Tapi dalam senyumnya, ada tanda-tanda yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.



---


2. Suasana Kota, Hati yang Tak Sederhana


Rumah Kak Dhea terletak di pinggiran kota Jakarta, dikelilingi pohon-pohon kamboja dan pagar besi tua yang mulai berkarat. Meski sederhana, rumah itu terasa hangat.


Kak Dhea menyambut Erik dengan ramah. “Wah, ini Erik? Pantes aja adikku selalu cerita. Ayo masuk, udah disiapin kamar buat kalian.”


Hari-hari di Jakarta mereka isi dengan hal-hal kecil: memasak bersama, menyiram tanaman Kak Dhea, dan sesekali naik motor keliling komplek mencari es krim malam hari.


Tapi malam itu, di loteng kecil yang dijadikan tempat baca oleh Kak Dhea, Erik dan Alex duduk berdampingan. Di luar, suara motor dan hiruk-pikuk kota meredup perlahan.


“Erik, terima kasih ya,” kata Alex tiba-tiba, suaranya pelan, seperti takut terdengar terlalu jujur.


“Untuk apa?” tanya Erik sambil menoleh.


Alex menunduk, menatap cangkir teh hangat di tangannya. “Untuk mau ikut ke sini. Untuk tetap ada. Untuk semua hari yang kamu habiskan bareng aku.”


Erik tersenyum. “Kamu ngomong kayak kita nggak bakal bareng lagi.”


Alex tidak menjawab. Ia hanya menatap langit malam dari jendela kecil di loteng, lalu berbisik, “Kadang aku ngerasa, hidup tuh kayak jalan sempit. Dan kadang kita harus mundur sedikit… biar nggak saling nyakitin.”



---


3. Klimaks: Tumpahan Perasaan di Balkon


Keesokan malamnya, mereka duduk di balkon lantai atas, memandang lampu-lampu kota dari kejauhan. Jakarta tak pernah benar-benar tidur, dan suara jalan raya terdengar seperti gumaman dunia yang tak henti.


“Erik…” suara Aleksandra gemetar, matanya menatap lurus ke depan. “Aku pengen kamu tahu sesuatu.”


Erik menoleh. “Apa itu?”


“Aku sayang kamu. Dan mungkin, lebih dari yang seharusnya.”

Lihat selengkapnya