Belum juga tuntas urusan luka di dada Erik karena kepergian Alexandra, semesta seolah belum selesai mengujinya. Luka lama belum benar-benar sembuh, tetapi cobaan baru mengetuk — bukan dalam bentuk kehilangan, melainkan kedatangan seseorang yang justru memunculkan kembali pertanyaan-pertanyaan lama tentang takdir, tentang cinta, dan tentang jiwa.
Dan semuanya berawal dari sebuah acara wedaran spiritual yang digelar di pinggiran kota Yogyakarta, dalam keheningan malam dan langit yang hanya setengah bercahaya.
---
Erik menatap bulan yang menggantung separuh di langit malam. Suasana di aula tempat meditasi belum dimulai, tapi Erik merasa ada keganjilan—Maria, yang biasanya selalu ada di sisinya, absen malam itu karena sedang mengikuti pelatihan yoga ke luar kota. Aura kehadirannya yang biasanya menenangkan kini tergantikan oleh kekosongan yang tak biasa.
Ia duduk di sudut aula, memandangi layar ponselnya. Grup peserta mulai ramai. Notifikasi terus masuk—foto karpet, senter, gelas teh. Namun, satu pesan mencuri perhatiannya:
> “Maaf, saya tersesat dan tidak tahu harus ke mana. Ada yang bisa bantu?”
– Nadia
Pesannya sederhana, seperti rintih kecil dalam lautan suara digital. Erik segera membalas:
> “Saya bisa jemput, Mbak. Di mana posisi sekarang?”
Setelah beberapa pertukaran pesan, Erik melajukan motornya menuju titik yang disebutkan. Jalanan Yogyakarta malam itu sepi, hanya sesekali dilalui oleh mobil atau sepeda motor. Hembusan angin membawa bau tanah yang basah—sejuk dan membingungkan.
Saat Erik sampai di titik yang disebutkan dalam pesan, ia melihat seorang perempuan berdiri di bawah lampu jalan, menenteng totebag dan sedikit gelisah.
Perempuan itu menoleh saat mendengar suara motor Erik yang berhenti.
“Mas... ini tempat wedarannya, ya?” tanyanya ragu, sambil memandang Erik.
Erik turun dari motor, mengangguk ramah. “Iya, Mbak. Barusan saya lihat pesannya di grup. Mau bareng ke lokasi?”
Perempuan itu tersenyum lega. “Makasih, Mas. Saya tadi nyasar ke belakang perkampungan... hampir balik pulang karena udah pasrah.”
“Wah, jangan sampai gitu. Meditasi pertama justru yang paling ngena biasanya,” ucap Erik sambil tertawa kecil.
Mereka pun berjalan beriringan menuju motor Erik.
Di perjalanan, obrolan mereka ringan: soal suasana Jogja malam hari, bau tanah yang lembap, dan kesan pertama tentang suasana spiritual. Erik tak menyebutkan namanya, dan si perempuan juga tidak bertanya.
“Mas emang udah sering ikut acara kayak gini ya?” tanya si perempuan.