Radisty Farla Anjani, "Farla" begitu orang-orang memanggilnya.
Perempuan tidak terlalu tinggi, berkulit coklat, berambut panjang, mata kecil, dan pipi yang lumayan tembam. Kini telah berhasil menyelesaikan studynya di sekolah. Dan siap memasuki dunia perkuliahan. Dari kecil sangat gemar bermain, alias berjalan jalan dan liburan. Menulis dan menggambar merupakan salah satu kegiatan selingan, yang dilakukannya ketika sedang bosan.
"Ma aku pergi ya..." duduk di kursi depan teras sambil mengikat tali sepatunya.
"Mau kemana lagi kamu La?" menghampiri ke depan teras untuk menahan agar tidak terlalu sering keluar rumah.
"Sebentar saja ma, ini urusan penting, mengenai masa depanku" ujarnya hendak berpamitan dan bersalaman pada ibunya.
"Jangan pulang larut malam, lagi banyak kejahatan diluar sana" pinta ibunya yang dengan berat hati mengizinkan untuk pergi.
"Iya ma, tenang saja, aku takkan pulang larut malam, tapi aku pulang saat fajar ya" tertawa dan melambaikan tangan pada sang ibu.
"Farla, benar - benar ini anak, hati hati nak!" tersenyum mengingat kejahilan sang anak.
Farla memang begitu aktif, ceria, tak kenal lelah, dan jahil. Tak jarang ia mengusili seisi rumah, dan adiknya terutama. Bagi Farla, mendekatkan diri pada seseorang tak selalu harus secara formal, biarkan saja berjalan mengalir seperti air.
Rambut di kuncir satu, mengenakan kaos dengan outer kemeja, celana jeans, sepatu kets, tas ransel dan topi. Begitu style yang biasa dikenakan ketika hendak berpergian.
"Halo, Je kamu sudah sampai?" menggengam ponsel yang diletakkan pada telinganya.
"Belum, sebentar aku agak terlambat ya La, tadi habis bantu kakakku" suara dari balik ponsel terdengar begitu.
"Oh, baiklah, aku langsung ke tempat biasa ya" berjalan agak santai karena mengetahui sahabatnya kan datang terlambat.
Mendorong pintu, berjalan masuk perlahan, memandang sekitar hendak mencari kursi kosong.
"Je aku agak ke arah belakang ya" pesannya yang dikirim kepada sahabatnya.
Beberapa saat setelah menunggu lumayan agak lama. Seseorang menghampiri dengan membawa minuman.
"Maaf mas, saya belum pesan apa - apa. Mungkin masnya salah pesanan." tuturnya karena merasa belum memesan apapun saat itu.
Perempuan lumayan tinggi, berkulit kuning lansat, mengenakan kerudung, kemeja blus, celana jeans dan sepatu kets, berdiri dibelakang pelayan.
"Itu aku yang pesan, kamu kan sudah menunggu cukup lama, aku tahu kamu haus, tapi..."
"Tapi apa?"
"Tapi gak punya uang kan" tertawa meledek sahabatnya.
Pelayan itu kemudian pergi meningglkan mereka berdua. Dan kini dimulailah pembicaraan serius diantara mereka.
"Ah resek kamu, tapi bener juga sih Je" senyumnya malu-malu mengakui kebenaran yang dikatakan sahabatnya.
"Apa sih yang aku gak paham soal kamu, lagi pula kan aku yang memintamu datang, malah kamu yang menunggu" meminta maaf karen telah membuat sahabatnya menunggu cukup lama.
"Ah sudah biasa, memang kebiasaan kamu, ngaret. Gausah segala sok minta maaf" balasnya dengan ledekan, karena tak mau kalah.
Jesika Anggraini, sahabat sekaligus partner Farla dalam melakukan segala hal saat disekolah. Mereka begitu sangat dekat, padahal pertemann mereka baru seumur pohon toge. Begitulah persahabatan, tak mengenal waktu dan ruang. Pertemuan mereka kali ini bukan untuk hal yang tidak penting, berbincang mengenai laki-laki, membicarakan kebiasaan guru, atau merencanakan strategi bolos kelas guru yang menyebalkan.
"Jadi bagaimana La?" tanya Jesika memastikan suatu hal.
"Je, sebenarnya aku belum bicarakan ini pada mama, tapi tak apa, kita rencanakan saja" mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Lulus sekolah artinya harua menuju jenjang selanjutnya, kuliah. Mereka ingin sekali kuliah di satu kampus yang sama, tinggal bersama, dan melakukan banyak hal bersama.
Kedekatan dua sahabat ini bagai anak kembar. Jika yang satu merasa sedih, maka satu lainnya akan ikut sedih. Begitu sebaliknya, namun nasib mereka tak sama, kehidupan mereka pun berbeda. Mereka bagaikan saudara tak sedarah.
"Aku sudah carikan tempat kos yang murah, fasilitasnya bagus" Jesika mengambil ponselnya di saku dan menunjukan pada Farla.
Perencanaan untuk masuk kuliah bersama dan berjuang hingga lulus pun telah selesai. Rancangan mereka bagai impian di negri khayal. Farla tak ingin mengatakan ini, namun ia memiliki firasat kalau mereka harus berpisah. Oleh karena itu, Farla memiliki perencanaan lain yang tak diketahui oleh Jesika.
"Je, libur kan masih panjang, bagaimana kalau kita liburan bersama?" menatap Jesika seakan berharap ia mau berlibur bersama.
Karena Farla tau mungkin ini akan menjadi kenangan yang indah saat mereka tak lagi beriringan.
"Mau liburan kemana, aku tak banyak uang La"
"Liburan tak harus mahal kok, bagaimana dengan mendaki?" menawarkan tawaran yang cukup menarik untuk Jesika.
Walau Jesika terlihat lebih girly, namun jiwa Jesika dan Farla sama. Memiliki jiwa petualangan dan tak takut rintangan.
"Kita berdua? Tapi kita belum pernah sama sekali melakukannya. Apa tidak bahaya?" meragukan rencana yang diajukan sahabatnya, ingin menolak namun hatinya berkata jangan di tolak.
"Tenang saja, aku kan ada Reno" menenangkan Jesika dengan menyebut salah satu pakar pendakian.
Reno Safrijal Saputra, salah seorang laki-laki yang kerap hendak mengincar Farla sewaktu awal masuk sekolah. Reno sering melakukan pendakian bersama teman temannya, sudah banyak gunung yang dijelajahi olehnya. Liburan sekolah selalu digunkan untuk mendaki. Tak jarang Reno mengajak Farla untuk mendaki bersam, namun Farla selalu menolaknya.
"Apa kamu yakin? Memangnya dia mau, setelah kamu tolak berkali - kali?" tanya Jesika memastikan.
Setidaknya rencana mereka liburan bersama kali ini harus benar terwujud. Sekian kali dan sekian lama merencanakan liburan, namun tak kunjung berhasil jua. Kini saat terakhir, harus benar diwujudkan.
"Mungkin, aku kan coba menanyakan hal ini" mengambil ponsel, mencari nomor Reno kemudian meneleponnya.
"Halo Ren, aku ganggu ya?"
"Tidak La, ada apa ya? Tumben kamu nelepon aku" suara dari balik ponsel Farla yang kian membuat Jesika tertawa kecil.
"Ah iyaa Ren, kamu tak berencana mendaki lagi liburan kali ini?" tanya Farla perlahan, bernada seakan mengajak untuk mendaki.
"Oh iya, aku lupa. Biasanya aku selalu ngabarin ke kamu ya, kamu sih gak pernah mau kalau aku ajak. Aku ada jadwal pendakian ke Gunung Gede Pangarango bulan depan. Kalau kamu kali ini bersedia, ini akan jadi perpisahan yang keren."
"Iya aku mau" jawabnya singkat terhadap penjelasan Reno yang lumayan panjang.