Bayangan keramaian samar-samar terpenjara dalam kedipan mata ku. Aku melihat orang-orang mengenakan busana pesta yang terbilang mewah. Sepertinya mereka semua dari kalangan bangsawan.
Melayang pandangan ku kesana kemari, terkagum dengan dekorasi ruang pesta yang penuh bunga.
"Oh, pesta pernikahan," gumam ku.
Akupun melihat tampak di kejauhan ada foto sepasang pengantin terpajang dekat pintu masuk ruang pesta. Entah wajah siapa itu, terlalu jauh untuk memastikannya.
Tunggu dulu, ucap ku dalam hati. Pernikahan siapa ini, sejak kapan aku ada di sini ?
Aku menunduk mengamati busana yang ku kenakan. Mata ku seketika membelalak melihat gaun putih panjang nan mewah membalut tubuh ku.
Apa ini pernikahan ku? Seingat ku busana yang aku pilih dulu adalah kebaya dan bukan gaun. Aku terus berdebat sendiri dalan pikiran ku. Bukankah aku sudah menikah beberapa tahun yang lalu? Aku bahkan ingat telah memiliki seorang putra yang wajahnya begitu mirip dengan sahabat masa kecil ku.
Cengkeraman tangan yang kuat di bahu ku menyadarkan ku dari lamunan. Akupun menoleh pada pria berperawakan tinggi proporsional yang berdiri di sebelah ku. Dia mengenakan jas pengantin, sangat serasi dengan gaun yang ku pakai.
"Kamu bukan Mas Okta." Ucap ku sendu sembari memutar ingatan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa bukan Mas Okta yang berdiri di pelaminan ini bersama ku. Padahal hanya Mas Okta kekasih ku, dan suami ku.
"Ada apa dengan mu?" Tanya pria tampan bernama Dave itu pada ku. "Apa kau baik-baik saja, Carlise? Lihat aku. Apa kau sakit?"
Aku melihat sedikit kecemasan terpancar dari sorot matanya.
"Aku..." lidah ku tiba-tiba kelu, tak sanggup melanjutkan kata.
Angin meniupkan lantunan lagu merdu yang mencoba menghidupkan suasana romantis ruang pesta pernikahan. Namun, begitu sayup ku dengar seolah membawakan keping demi keping ingatan yang beberapa waktu lalu berhamburan entah kemana. Aku merasa setiap melodi menarik ku untuk terperosok semakin dalam pada emosi yang benar-benar suram.
"Carlise, hei ..." Dave mencoba membawa ku kembali ke alam sadar. "Apa kau mendengar ku?"
Dada ku sesak sekali. Butir air mata mulai berjatuhan di wajah ku. Kaki ku benar-benar lemas, tak sanggup lagi menopang tubuh ku.
"Ahh.." aku terduduk memegangi dada ku. Serasa akan berhenti berdetak. "Ahh..hahh.." ucap ku menahan sakit. Ku raih lengah Dave dan ku pegang dengan erat.
Air mata yang tak terbendung pun mulai mengalir deras, bersama semua ingatan yang terus merobek jiwa.
"Hei, Carlise ... sadarlah. Jawab aku!" Dave berjongkok di depan ku, memegangi kedua bahu ku. Dia pun membawa ku ke dalam pelukannya. "Katakan sesuatu!"
"Ada apa, Dave?" Seorang wanita paruh baya yang rupawan mendekati kami, turut berjongkok dan memegangi kepala ku dengan lembut. Dia adalah Mama Davina, Mamanya Dave. "Kamu sakit sayang?" Tanyanya cemas.
"Aku tak tahu, Ma. Carlise tiba-tiba seperti ini". Dave menoleh memandang Mama Davina.