"Terkadang suatu kejadian tidak berarti apa-apa. Namun, dikemudian hari kita menyadari hal itu merupakan suatu batu loncatan dalam hidup kita."
-------
Mata ku terbuka menatap langit-langit kamar. Tubuh ku masih lemas meski ku rasakan selang infus di tangan ini mencoba memulihkan energi ku.
Ternyata Dave membawaku pulang ke rumahnya.
Diam membisu dengan tatapan hampa, aku merasa terlempar kembali ke masa itu. Masa sebelum semua kekacauan ini terjadi.
Flashback
Malam itu rembulan begitu teduh, tersenyum bersama barisan bintang-bintang. Seolah memberi ku pertanda bahwa akan ku jumpai kebahagiaan, yang entah itu semu, sementara, atau hayalan semata.
Disebuah warung bakmi pinggir jalan, sepupu ku berencana memperkenalkan ku pada seorang temannya. Yang konon katanya tengah menaruh hati pada sepupu ku itu. Sembari menunggu kedatangannya kami berbincang tentang apapun yang bisa diperbincangkan. Entah itu aku, dia, mereka yang ada disana, atau cicak-cicak didinding yang diam-diam merayap, lalu jatuh ke dalam mangkuk bakmi. Oh, betapa menyebalkannya itu. Semoga tidak terjadi.
"Kamu harus berkenalan dengan teman ku itu, sepertinya kalian akan sangat cocok." Celetuk Mbak Saras dengan penuh antusias.
"Mbak ini kalau mau mencampakan orang terang-terangan saja kan bisa. Kenapa harus jadikan aku sebagai tempat sampah."
"Tenang, tenang. Aku punya firasat kalian akan berjalan pada jalur takdir yang sama."
"Hufh..." helaan nafas ku begitu lepasnya hingga membuat ku semakin jenuh menunggu.
"Bakminya, Non". Ucap pelayan warung sembari menyuguhkan piring berisi bakmi pesanan kami.
Aroma sedap yang mengepul memecah suasana jenuh dalam hati ku. Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi untuk menyantap hidangan lezat itu. Namun, sepoi angin yang dihembuskan oleh kipas angin di samping kami menuntun pandangan ku menoleh ke pintu masuk warung. Ku jumpai disana seorang pria mengendarai sepeda motor merah dengan sentuhan modifikasi di beberapa bagiannya.
Perawakan yang proporsional secara umum, kulit sawo matang yang semakin tampak remang-remang karena pencahayaan yang kurang bagus diwarung itu. Rambut gondrong yang dikuncir ke belakang, kaos oblong yang dipadukan dengan celana jeans panjang, serta jaket kulit hitam yang ditentengnya.
"Uh, anak motor sekali," gumam ku dalam hati. "Eh, lho..lho.. kok ke sini, jangan-jangan dia yang dimaksud oleh Mbak Saras."
"Ehem."
"Oh, hai Okta. Aku sudah lama menunggu mu. Apa ban mu bocor dijalan. Atau motor mu mogok. Ayo duduk." ucapnya tanpa jeda seraya bergeser memberikan tempat duduk.
Ya, dialah Mas Okta. Pria yang sebentar lagi akan masuk dalam barisan pria yang dicampakan oleh Mbak Saras.