I Love You, Mama

delionquin
Chapter #2

Chapter 1: Siapa Mamaku?

Memangnya siapa mamaku? Seorang aktris? Pebisnis? Atau orang kaya raya yang bisa berjalan-jalan ke luar negeri minimal setahun sekali dan mengendarai Porsche?

Bukan. Mamaku hanyalah orang biasa.

Mama tumbuh di sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri beranak delapan. 'Banyak anak banyak rezeki' kata pepatah orang zaman dulu. Namun itu tidak benar, karena sejak kecil Mama justru hidup melarat. Dia harus kehilangan ayahnya yang meninggal dunia akibat kanker di usia remaja dan terpaksa melupakan mimpinya untuk berkuliah agar bisa menjadi tulang punggung keluarga. Kalau tidak, siapa yang akan menghidupi ibunya yang pengangguran dan ketujuh orang adiknya yang masih sekolah?

Tidak adil, bukan? Menjadi anak tertua mengharuskannya berhenti bermimpi. Namun walau hanya tamatan SMA, Mama bisa menjadi seorang wanita karir dan bekerja selama lebih dari tiga puluh tahun. Mungkin lebih dari setengah usianya dia gunakan hanya untuk bekerja menafkahi keluarga.

Sampai detik ini, di umurnya yang sudah menginjak kepala enam, dia masih harus bangun subuh, memasak, dan membereskan rumah sebelum pergi ke kantor. Jiwa dan semangatnya tak kalah dengan anak muda. Rambut putihnya disemir hitam, membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. Kedua kakinya masih sanggup menaiki tangga penyeberangan halte yang panjang dan melelahkan. Daya ingatnya bahkan jauh lebih baik dariku. Mama bisa menghitung penjumlahan dan perkalian dengan cepat serta menghafal lokasi setiap barang di rumah. Keahlian utamanya adalah memasak, tak jarang pesanan kue atau puding memenuhi dapur kami ketika hari libur tiba. Di waktu senggang, yang dia lakukan bukanlah beristirahat, melainkan menyiram tanaman anggrek kesayangannya atau membersihkan rumah. Mama merupakan seorang perempuan ulet yang memiliki segudang hobi dan kelebihan.

Kondisi keuangan keluarga kami bisa dibilang baik. Papa dan Mama punya pekerjaan tetap dengan jabatan yang cukup tinggi. Mereka bisa mengirimku ke tempat les, membelikanku buku atau mainan setidaknya seminggu sekali, dan menghidangkan minimal tiga jenis lauk pauk di atas meja makan setiap hari. Hidup kami nyaman, tidak berkekurangan, bahkan kedua orang tuaku mampu menyewa jasa asisten rumah tangga untuk mengurusku. Masa kecilku bisa dibilang cukup beruntung. Punya keluarga yang harmonis, keuangan yang stabil, dan kehidupan yang nyaman.

Meski begitu, Mama tidak pernah mengajariku yang namanya berfoya-foya. Contohnya, dia akan marah jika anak-anaknya menyisakan makanan. Jika kami menolak makan karena tidak doyan dengan menunya, dia akan membiarkan kami kelaparan. “Kalau lapar nanti juga akan makan sendiri”, itu ucapnya selalu. Meski terkesan keji, tapi cara itu ampuh untuk memaksa kami makan apapun yang disajikan, hingga lama-kelamaan kami terbiasa menyantap berbagai makanan tanpa mengeluh.  Bahkan orang tua teman sekolahku pernah memujiku yang bisa menghabiskan seporsi penuh pepaya.

Lihat selengkapnya