“Aw, aw! Sakit, Dek!”
Keluhan itu Sus Linda teriakkan ketika gigi taringku menancap pada lengannya.
Aku adalah seorang balita yang manja. Karena kesibukan kedua orang tuaku, sejak lahir aku dirawat oleh pengasuh dan asisten rumah tangga. Mereka selalu menuruti segala kemauanku bak seorang ratu, mulai dari mengawalku ke sana kemari, membopongku jika lelah berjalan, hingga rela dibentak jika aku marah. Tak aneh jika aku tumbuh besar menjadi anak yang manja, keras kepala, dan egois. Bahkan lebih parahnya lagi, aku punya kebiasaan buruk jika sedang kesal pada seseorang: mencakar atau menggigit mereka!
Mengerikan, bukan? Aku semasa kecil mirip binatang jalang yang otoriter. Jika kemauanku tidak dituruti, aku akan menyalak dan mengiggit orang lain. Tak peduli target seranganku merintih kesakitan, seperti Sus Linda yang kini menjadi korban kesekian.
Aku ingin semua orang tunduk. Jika aku bilang A, lakukan A. Jika aku ingin B, berikan B! Keegoisan dan keangkuhan itu terbentuk sejak aku masuk Taman Kanak-kanak. Mungkin karena aku anak bungsu, aku sangat dimanja. Berbeda dengan kakak perempuanku yang lebih sabar dan bisa mengontrol emosi dengan baik.
Entah sudah berapa bekas gigitan yang menghias lengan Sus Linda. Yang pasti dia korban terparah dari korban-korban lainnya, karena dia yang bertugas menjagaku seharian penuh.
“Sus Linda kok digigit lagi! Awas ya nanti kulaporin ke Mama!” ancam Kakak yang menyaksikan perilaku beringasku. Dia memang satpam rumah yang paling sering mengadu pada Mama jika terjadi sesuatu. Bahkan asisten rumah tangga yang dulu pernah ketahuan berpacaran dengan tukang bangunan di rumah saja dia laporkan dan berujung dipecat.
“Lapor aja sana! Aku sebel!” balasku menantang. Aku tidak peduli jika perbuatanku diadukan ke Mama. Menurutku apa yang kulakukan wajar. Sus Linda tidak mau menurut dan dia cerewet. Agar dia mau patuh, aku harus memberikannya ganjaran, pikirku.
Malam itu Kakak benar-benar mengadu pada Mama. Tentu saja Mama murka mendengar ceritanya. Dia menyeretku ke dalam kamar sambil membawa sapu lidi, lalu mengunci pintu agar siapapun tidak bisa masuk.
“Kiara gigit Sus Linda, ya? Kenapa Kia gigit Sus?” tanya Mama dengan mata melotot. Aku yang tadinya angkuh seperti Firaun kini menciut seperti tahanan yang akan dirajam. Wajah galak Mama sangat menyeramkan sampai tubuhku gemetar. Apalagi ketika melihat sapu lidi di tangannya.
“Soalnya…soalnya Kia kesel! Sus Linda nggak mau dengerin Kia!” ujarku membela diri.
“Terus kenapa Sus Linda yang harus dengerin Kia? Kia yang harus nurut sama Sus! Kia nggak boleh gigit dan cakar orang seenaknya!” ujar Mama dengan intonasi tinggi. Tanpa sadar air mataku sudah merembes keluar, dan lama-kelamaan tangisanku pecah. Tiba-tiba suara Sus Linda dari luar kamar terdengar, “Sudah Bu, jangan dimarahi. Kasihan Adek. Saya nggak apa-apa kok, Bu.”