"Kiara, jajan bareng yuk!"
Panggilan itu bergema tepat setelah bel istirahat berbunyi. Aku menoleh ke arah teman yang memanggil namaku dan tersenyum lebar, "Ayo! Mau jajan apa?"
Kegiatan paling menyenangkan bagiku yang mungkin terdengar biasa bagi orang lain adalah jajan di kantin sekolah! Jujur saja, aku jarang sekali jajan di luar karena Papa dan Mama memang tidak pernah memberiku uang saku. Terutama Mama, yang berprinsip bahwa jajan menghabiskan uang sekaligus tidak higienis. Alhasil kotak bekal menjadi benda yang setia menemaniku ke sekolah setiap harinya. Nasi goreng, nasi ayam dan telur, tumis sayur dan daging, hingga hamburger adalah menu makan siang yang paling sering mengisi kotak makanku.
Siang itu aku pergi ke kantin bersama dua teman sekelas. Sebut saja mereka Tami dan Tata. Kami baru saja bertengkar dengan Bobby, teman cowok menyebalkan yang suka usil dengan berdebat tiga lawan satu. Tentu saja dengan kekuatan tiga orang, kami unggul dan berhasil menyudutkan Bobby. Dengan rasa puas akan kemenangan telak, Tata menginisiasi ide jajan sebagai selebrasi kemenangan. Aku yang juga sedang berada di atas angin pun mendukung ide itu dengan berkata, "Aku yang traktir yuk, ada uangnya nih!"
Mendengar pernyataan itu, keesokan harinya Tata dengan semangat memimpinku dan Tami pergi ke kantin sekolah. Letaknya tak jauh dari ruang kelas kami di lantai dasar. Kurang dari tiga menit, kami pun tiba di kantin yang sudah padat pembeli. Dengan percaya diri aku melangkah menghampiri ibu penjual penganan dan menyodorkan selembar uang seratus ribu padanya. "Bu, mau beli ciki ya!"
Si ibu penjual tidak langsung melayani permintaanku, namun memandang kami bingung. Dia melirik uang seratus ribu di tanganku dan wajah kami bergantian.
"Uangnya besar banget. Ibu nggak ada kembalian. Lagian kok kalian bisa bawa uang sebesar itu?"
Pertanyaan itu seketika membuatku kaget. Aku menjawab dengan gugup bahwa uang itu diberi oleh orang tuaku. Namun sayangnya si ibu penjual bersikeras bahwa dia tidak memiliki uang kembalian, sehingga dia tidak bisa menjual camilan yang kami inginkan. Menerima penolakan itu, aku tentu saja merasa kecewa. Kami bertiga akhirnya kembali ke kelas dengan tangan hampa, lalu menghabiskan waktu istirahat dengan bermain sampai bel istirahat selesai berbunyi. Tidak satupun dari antara kami menyadari bahwa kejadian itu merupakan awal mula sebuah masalah terjadi.
Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang asyik mengerjakan tugas di kelas, tiba-tiba seorang guru perempuan datang dan menarikku keluar. Katanya hendak membicarakan sesuatu secara empat mata.
Aku dibawa ke sebuah ruangan yang sepi. Di situ aku duduk berhadapan dengan sang guru. Entah mengapa firasatku saat itu sudah tidak enak, seolah merasa apa yang akan dikatakan si ibu guru setelah ini adalah hal yang menakutkan.
Dan benar saja, ketika kami sudah duduk berhadapan, tanpa berbasa-basi Bu Guru langsung menginterogasiku. "Kiara, kamu kenapa bisa bawa uang seratus ribu ke sekolah? Ibu kantin melapor bahwa kamu membawa uang sebesar itu, apa benar?"
Kaget. Tentu saja aku menjadi panik. Karena sejujurnya uang itu tidak diberikan orang tuaku, melainkan aku yang diam-diam mengambilnya dari dompet Papa di dalam laci meja kerjanya.
"Dikasih Papa, Bu," dustaku dengan suara bergetar.
Tampaknya sang ibu guru tidak percaya. Dia menatapku dengan kerutan di antara kedua alisnya. Aku tidak ingat jelas apa yang terjadi setelah itu, karena tubuhku terasa panas dingin seperti menanti putusan sidang, dan otakku mendadak seperti kaset kusut yang tidak bisa berjalan lancar.