Sejak kecil, aku mengikuti kursus piano dan bahasa inggris. Dari keduanya, aku paling tidak suka les piano. Pertama, karena aku memang tidak terlalu tertarik bermain musik. Kedua, aku harus pergi pada hari Sabtu. Karena lokasi kursusnya jauh dari rumah, orang tuaku hanya bisa mengantar di hari mereka tidak bekerja. Ketiga, aku tidak terlalu suka gurunya yang tegas. Asal tahu saja, aku ini anak yang cukup sensitif. Ditegur sedikit saja terkadang sudah bisa membuat nyaliku menciut.
Sudah tidak suka lesnya, dipaksa latihan pula setiap minggu, benar-benar membuatku stres dan membenci hari Sabtu!
Sebenarnya kalau boleh memilih, aku ingin sekali kursus menggambar. Sejak TK, aku suka sekali menggambar karakter komik. Aku bahkan membeli buku panduan cara menggambar proporsi tubuh karakter dan berlatih sendiri. Namun entah mengapa, Mama dan Papa tidak pernah mendaftarkanku les menggambar. Mungkin bagi orang-orang kolot seperti mereka, menggambar tidak akan menghasilkan banyak uang.
Suatu hari, aku dipaksa Mama untuk berangkat les piano. Padahal saat itu aku benar-benar jenuh dan enggan untuk pergi. Maka dengan keras aku menolak dan berkata padanya, "Kia nggak suka les piano! Kalau mau, Mama aja sana yang pergi les!”
Tentu saja ucapan itu memancing keributan di antara kami. Pada akhirnya aku tetap berangkat, namun dengan raut wajah masam yang begitu kentara.
Setibanya di tempat les, Mama berpesan padaku, "Kia harus rajin les, jangan jadi pemalas. Banyak loh manfaat dari les musik. Nanti pas kamu besar, pasti kamu ngerti maksud Mama."
Saat aku besar itu masih sangat lama! Waktu itu aku hanya seorang anak berumur delapan tahun yang lebih ingin bermain dan menggambar. Mereka bilang kemampuan musik itu akan menguntungkanku di masa depan, tapi tetap saja aku tidak suka dan tak mau peduli.
Saking malas dan enggannya, guru yang mengajarku---Kak Shinta namanya, sampai mengeluh karena muridnya tidak kunjung bisa fokus. Pernah dia satu kali meminta Papa dan Mama untuk masuk ke kelas dan mengamatiku belajar. Waktu aku melamun dan tidak mendengarkan penjelasan Kak Shinta, mereka langsung marah dan menegurku. Tidakkah mereka seharusnya sadar alasan yang membuatku malas mendengarkan? Bahwa aku tidak suka bermain musik? Mengapa orang tua sering memaksakan kehendak mereka tanpa bertanya terlebih dahulu apakah anak mereka INGIN dan BERSEDIA menjalaninya?
Aku muak, sangat muak. Sampai suatu hari kepalaku akhirnya meletus seperti gunung api yang bangkit dari tidur nyenyaknya. Hari itu aku memberontak dan menolak untuk pergi les. Papa bahkan sampai berusaha menyeret dan menggendongku untuk pergi secara paksa. Dia bahkan mematahkan CD Playstation yang sering kumainkan karena terbawa emosi. Kecewa menyaksikan barang berhargaku dirusak, aku pun menangis kejar sampai berteriak, "PAPA MAMA JAHAT!" lalu pergi mengurung diri di gudang lantai dua. Sampai malam, aku mendekam di sana sambil menangis tersedu-sedu.