Siapa yang sewaktu kecil pernah dirawat oleh asisten rumah tangga?
Jika mendengar pertanyaan itu, aku akan unjuk tangan tinggi-tinggi. Ya, aku pernah dirawat oleh seorang perempuan asal Jawa Tengah bernama Mbak Tati. Mbak Tati tidak menikah, dia bekerja sejak aku bayi hingga masuk Sekolah Dasar. Dia pintar memasak, bertubuh mungil, berambut keriting, dan seorang penyayang. Mbak Tati sering memasak rawon, makanan favoritku. Dia gemar melihatku makan karena katanya, "Adek nggak pilih-pilih makanan. Beda sama Kakak. Mbak suka nyuapin Adek."
Memang perlakuan Mbak Tati padaku dan Kakak sedikit berbeda. Misalnya, Mbak Tati hanya bertanya padaku ingin makan apa, tidak pada Kakak. Kami memang dekat karena Mbak Tati sudah merawatku sejak bayi, dan aku pun menganggapnya seperti ibu sendiri.
Aku serius, aku sungguh menganggapnya seperti ibu sendiri sampai pernah memanggilnya 'Mama'.
Waktu Mama tahu bahwa aku memanggil Mbak Tati dengan sebutan 'Mama', dia marah besar. Dia langsung melarangku memanggil Mbak Tati seperti itu, katanya aku hanya boleh memanggil orang tua kandungku dengan sebutan ‘mama’. Tapi apa itu salahku? Mbak Tati hadir menemaniku jauh lebih sering daripada Mama yang sibuk bekerja di kantor dan tak pernah ada di rumah dari sebelum aku bangun hingga larut malam. Karena kesibukannya itu, aku menjadi lebih dekat secara emosional dengan Mbak Tati yang ada bersamaku sepanjang hari.
Di situ Mama sadar bahwa dia kurang banyak meluangkan waktu untukku. Sejak saat itu, dia pasti akan menghabiskan waktu di rumah saat akhir pekan bersama anak-anaknya.
Meski begitu, sosok Mbak Tati sudah begitu melekat di keseharianku. Aku tak bisa lepas darinya. Bahkan ketika Mbak Tati hendak pulang kampung, aku bilang padanya bahwa aku ingin ikut.
"Adek mau ikut Mbak ke kampung? Tapi nggak ada Mama dan Papa, loh?" tanyanya.
"Nggak apa-apa, Mbak! Kia mau sama Mbak aja!" jawabku yakin.
Tentu saja aku tidak benar-benar ikut bersamanya. Orang tua mana yang akan mengizinkan anak mereka yang masih kecil pergi ke kota lain begitu saja? Aku ingat Mama menggendongku saat mengantar Mbak Tati pergi. Dia menaiki mobil travel sambil menangis, berpesan padaku untuk menjadi anak baik selama dia pergi.
"Adek tunggu ya, nanti Mbak Tati pasti balik kok. Mbak Tati mau kerja di sini sampai Adek gede. Mbak Tati kan kemarin beliin hadiah buat Adek, dimainkan ya?"
Sebelum pergi, Mbak Tati memberiku hadiah berupa boneka beruang agar aku tidak menangis. Aku dulu memang cengeng dan manja, makanya aku betah dirawat oleh Mbak Tati karena dia sangat sabar dan telaten mengurusku. Sambil terisak, aku mengangguk dan memeluk Mbak Tati sebelum melepasnya pergi. Hari itu menjadi hari di mana aku akhirnya mengenal yang namanya perpisahan meski hanya sementara.
Mbak Tati merawatku sampai aku masuk Sekolah Dasar. Namun tak lama kemudian sebuah kabar buruk hadir tanpa diharapkan. Mbak Tati didiagnosis mengidap kanker rahim. Aku dulu tidak terlalu mengerti seberapa berbahaya penyakit itu, namun Mbak Tati sangat syok begitu tahu dia mengidap kanker. Perempuan yang awalnya selalu ceria dan tegas itu sampai sering menangis karena merasa putus asa. Impiannya adalah menikah dan melahirkan, namun harapan itu sirna ketika dokter menyarankan agar rahimnya segera diangkat. Awalnya Mbak Tati menolak, namun kedua orang tuaku meyakinkannya bahwa pengangkatan rahim adalah jalan satu-satunya agar dia cepat sembuh. Mereka juga berjanji akan menjelaskan kepada calon suaminya kelak terkait kondisi fisiknya itu. Akhirnya Mbak Tati merelakan satu-satunya rahim yang dia miliki. Mengikhlaskan mimpinya untuk menjadi seorang ibu.