I Love You, Mama

delionquin
Chapter #8

Chapter 7: Fatherless

Aku tahu hidup itu tidak adil.

Ketika melihat teman sekolahku diantar oleh ayahnya, lalu berpamitan sambil mencium tangan sang ayah, aku merasa iri. Ketika teman yang lain bergandengan tangan dan bergurau dengan ayahnya sepanjang perjalanan pulang, aku merasa iri. Iri melihat mereka disayang, dijaga, dan dijadikan prioritas nomor satu oleh ayahnya.

Betapa beruntungnya mereka, tidak sepertiku.

Mana pernah aku merasakan yang namanya diprioritaskan oleh seorang ayah? Mana pernah aku bercerita padanya tentang masalahku? Tidak pernah ada dalam kamus hidupku seorang ayah yang mengantar sekolah setiap pagi lalu mencium kening anaknya sambil berpesan untuk belajar dengan rajin. Tidak pernah kurasakan pengalaman datang mengambil rapor bersama ayah. Tidak pernah ayahku sendiri menelepon sekadar untuk menanyakan kabar dan menyuruhku cepat pulang. Ya, aku iri melihat teman-temanku punya sosok ayah seperti itu.

Papaku jauh dari sosok ayah yang ideal. Dia tidak lemah lembut, apalagi penyayang. Dia cuek, tidak peduli akan kehidupan sehari-hariku, tidak pernah penasaran dengan apa yang kualami di sekolah. Aku hanya melihatnya hadir di rumah, terkadang asyik sendiri melakoni hobinya. Dia justru sering mengusiliku sehingga membuatku marah. Keberadaannya malah menyulut kekesalanku. Jarang sekali aku merasakan kehadirannya sebagai seorang ayah. Aku sampai pernah merasa bahwa dia hanyalah seorang pria yang memiliki hubungan darah denganku dan bisa kupanggil ‘Papa’.

Waktu berumur sembilan tahun, hidupku mulai berubah drastis. Awalnya keluarga kami tenteram dan damai. Mama dan Papa adalah karyawan swasta yang bergaji jauh di atas UMR. Apalagi setelah Papa menjabat posisi sebagai kepala cabang di sebuah perusahaan besar, bisa dibilang keluarga kami berkecukupan.

Tapi tentu saja hidup tidak selamanya menyenangkan. Begitu aku naik kelas tiga SD, Papa mulai berselingkuh.

Pada awalnya aku tidak tahu tentang perselingkuhan Papa. Tapi suatu hari, aku pulang ke rumah dan mendapati Mama sedang menangis. Wajahnya murka, kalut, gelisah, semua bercampur aduk seperti pusaran badai. Aku yang masih berseragam sampai lupa mencopot sepatu dan bertanya ada gerangan apa Mama menangis. Awalnya Mama tidak menjawab, namun akhirnya dia mengaku dengan nada suara yang pedih dan tertahan, "Papa selingkuh, Dek."

Pikiranku blank saat itu. Perselingkuhan adalah hal yang hanya pernah kudengar dan kutonton di televisi. Tapi ketika isu itu terjadi di dalam keluargaku sendiri, rasanya sangat tidak nyata. Fakta yang baru saja terungkap itu begitu cepat mengakhiri bayang-bayang kehidupan nyamanku. Memutarbalikkan segalanya.

Awalnya aku sempat berpikir bahwa perselingkuhan adalah masalah orang tua. Aku yang masih kecil tidak berhak ikut campur. Kupikir saat itu kedua orang tuaku bisa berbaikan. Seperti pepatah ‘badai pasti berlalu’, maka segala masalah pun akan cepat berakhir.

Namun ternyata aku salah. Sejak hari itu, tiada lagi kata damai di tengah keluarga kami. Jangan tanya sesering apa Papa dan Mama bertengkar. Setiap kali mereka berpapasan di rumah, adu mulut tak terhindarkan. Mama terkadang berteriak histeris, menangis, sampai melibatkan kami dalam pertengkaran itu. Mama menyuruhku dan Kakak meminta Papa untuk menceraikannya. Tentu saja kami, anak-anak yang masih tak paham bagaimana menyikapi masalah itu, tidak mau menuruti Mama. Tentu saja kami ingin memiliki keluarga yang harmonis. Aku bersikeras bahwa Mama dan Papa harus tetap bersama. Mereka tidak boleh bercerai karena aku tidak mau jadi seorang anak broken home!

Sejak tahu Papa berselingkuh, aku jadi benci padanya. Ya, benci. Saking bencinya aku akan membentak, memukul, dan mengamuk seperti kesetanan. Aku bahkan pernah menulis kata-kata jahat seperti 'Pergi aja sana ke neraka!'  di sebuah kertas yang kumasukkan ke dalam laci meja Papa. Sikap durhakaku semakin menjadi-jadi setelah Mama terkena PHK. Selama ini Mama yang membiayai kebutuhan kami, mulai dari biaya makan, pakaian, listrik, sekolah, dan sebagainya. Ketika Mama kehilangan penghasilannya, apakah Papa yang menanggung semua biaya itu?

Tentu saja tidak.

Papa hanya memberikan gaji pokoknya, tidak lebih. Dia tidak peduli jika uang yang dia berikan tidak cukup. Ke mana larinya gaji dua digit yang dia peroleh setiap bulan? Tentu saja dipakai untuk menyenangkan perempuan simpanannya. Alih-alih membiayai kami, dia malah menyuruh Mama menutup kekurangan biaya rumah tangga. Bahkan dia dengan teganya pernah menyuruh Mama untuk 'jual diri' saja jika tidak punya uang.

Jahat? Kupikir dia bukan hanya jahat, tapi tidak pantas disebut sebagai seorang suami dan ayah.

Lihat selengkapnya