I Love You, Mama

delionquin
Chapter #10

Chapter 9: Wanita Hebat, Wanita Pejuang

Keluarga kami hancur setelah perselingkuhan Papa. Meski begitu, kami tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Kami masih makan bersama, diantar ke sekolah, bertemu lagi pada malam harinya, lalu menutup hari dengan berehat. Sejak kondisi ekonomi keluarga kami menurun, aku mulai sering tidur bersama Mama dalam satu kamar. Alasannya adalah untuk menghemat biaya listrik dan AC. Sementara sejak Papa dan Mama pisah ranjang, mereka tidak lagi tidur sekamar. Hubungan di antara keduanya entah sejak kapan mendingin. Bak orang asing, mereka hanya berbincang seperlunya dan tak pernah lagi memanggil satu sama lain dengan sebutan intim.

Aku pun lama-lama terbiasa. Apalagi semenjak Mama mulai bekerja dengan teman lamanya, aku tidak pernah lagi mengalami yang namanya menunggak uang sekolah. Meski hidup kami masih perlu banyak berhemat, setidaknya kami lebih bisa bernafas dan tak perlu cemas memikirkan biaya hidup.

Mama bekerja dengan temannya yang berprofesi sebagai seorang dokter spesialis. Dia diminta menjadi asisten pribadinya, mulai dari menyiapkan bekal, menghitung pendapatan dan pengeluaran klinik setiap bulan, hingga menerima dan melayani pasien. Pekerjaan itu sesungguhnya sangat menolong kami. Namun jarak antara rumah kami dan tempat kerja barunya sangat jauh. Mama harus naik kendaraan umum selama dua sampai tiga jam untuk mencapai lokasi kantornya. Setiap hari dia bangun subuh dan memasak untuk kami sebelum berangkat kerja. Seperti tak kenal lelah, dia menekuni rutinitas barunya itu tanpa mengeluh.

Mama selalu berkata, “Jangan stres memikirkan uang. Itu urusan Mama. Yang perlu kalian lakukan hanya belajar yang rajin.” Meski begitu, apa aku bisa tidak memikirkannya? Mama mungkin berpikir bahwa tugasnya adalah membesarkan kami. Tapi apa dia tahu bahwa kami pun tidak tega melihatnya membanting tulang dari pagi hingga malam?

Namun hidup harus terus berjalan, dan saat itu tidak ada yang bisa kulakukan selain tekun belajar seperti pesan Mama. Aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku bisa lulus dengan nilai memuaskan dan menghasilkan uang yang banyak agar Mama tidak perlu lagi bekerja.

Meski Mama sudah menyerah dengan nasib rumah tangganya, bukan berarti tidak ada lagi yang namanya pertengkaran. Mama sering murka karena Papa tidak memberikan gajinya secara penuh. Setelah Mama bekerja, jumlah pendapatan yang dia berikan semakin tidak menentu. Kadang jumlahnya penuh, kadang setengah, bahkan pernah Papa tidak memberikan uang sepeserpun sama sekali. Sebagai gantinya, Mama harus memutar otak agar gajinya cukup untuk memenuhi segala kebutuhan kami selama sebulan. Di saat-saat seperti itu, kami biasanya jarang pergi keluar dan hanya beristirahat di rumah. Mama mulai mengganti semua produk yang ada di rumah seperti sabun, odol, hingga bahan-bahan dapur dengan yang paling murah. Terkadang om kami, adik Mama, sampai mengirimkan sejumlah uang untuk menopang hidup kami sehari-hari. Berkat Mama yang dahulu hidup sulit karena harus menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi ketujuh adiknya, sekarang giliran adik-adiknya yang turun tangan membantunya. Mungkin pepatah ‘banyak anak banyak rezeki’ tidak sepenuhnya salah jika para saudara saling membantu satu sama lain.

Kami memang tidak jatuh miskin, tapi hidup kami sederhana. Ketika hendak pergi ke pesta misalnya, aku tidak punya gaun yang layak untuk dipakai. Sampai-sampai aku terpaksa mengenakan baju pesta yang kubeli saat SMP untuk menghadiri pesta ulang tahun teman dekatku. Kami hanya membeli baju dan sepatu setahun sekali ketika Mama mendapat THR. Saat sekolah mengadakan karyawisata, aku menjadi salah satu dari segelintir anak yang tidak ikut pergi karena tak mampu membayar biaya perjalanannya. Ketika teman-temanku menikmati liburan yang menyenangkan di Bali, aku datang ke sekolah untuk belajar. Indahnya Bali hanya bisa kubayangkan dari cerita tentang perjalanan seru mereka. Terkadang sedih memikirkan betapa timpang hidupku dengan lingkungan di sekelilingku yang serba berkecukupan. Namun setiap kali kami merasa iri dengan hidup orang lain, Mama selalu mengumandangkan prinsipnya yang berbunyi: “Kita harus bersyukur karena masih bisa makan minimal dua kali sehari dan tidur di rumah beratap.”

Hidup seperti itu memang patut disyukuri, tapi wajar bukan jika aku iri? Seandainya Papa tidak berselingkuh dan memelihara gundik, aku bisa saja pergi berlibur, belanja baju sebulan sekali, membeli barang tanpa perlu memusingkan harganya. Aku selalu merasa tak bersyukur karena tahu bahwa penyebab dari semua kekurangan hidupku adalah Papa! Seandainya sejak awal keluargaku tidak berkecukupan, mungkin prinsip Mama bisa kuterapkan. Tapi masalahnya, ada seorang pria egois yang bisa saja memanjakan kami dengan hidup berkelimpahan, namun malah menghamburkan uang hanya untuk kepuasan dirinya semata!

Karena itu setiap kali masalah uang diungkit, aku akan selalu berkata, “Ini gara-gara Papa!” Semua masalah dan kesialan yang ada dalam hidup kami kuanggap terjadi karena Papa, dan dia yang harus bertanggungjawab memperbaikinya.

Tapi pada kenyataannya? Papa tidak pernah bisa berubah dan kondisi hidup kami tetap stagnan. Begitu-begitu saja.

Mungkin karena itu aku cenderung menyalahkan orang lain atas kesialan yang menimpaku. Mungkin karena itu aku sering tak percaya diri. Kupikir sebesar apapun berharap, hidupku tidak akan pernah menjadi lebih baik.

“Seandainya kita orang kaya ya,” ucapku suatu hari pada Kakak saat kami sedang bersantai di ruang tamu. Aku sedang duduk menonton acara televisi, sementara dia berkutat dengan ponsel genggamnya. “Bisa jalan-jalan ke luar negeri, bisa makan enak. Nggak kayak kita makan aja mesti mikirin harga,” lanjutku.

Kakak menyeletuk, “Hush, jangan ngomong gitu ya di depan Mama. Kasian loh Mama nanti kepikiran.”

Dahiku spontan berkerut. “Lah, maksudku bukan gitu. Kita hidup susah bukan salah Mama, tapi salah Papa. Kalau dia nggak selingkuh, mungkin kita bakal hidup lebih enak.”

Sempat terjadi keheningan di antara kami. Karena melihat Kakak hanya diam, aku lanjut berkata, “Kenapa ya hidup ini nggak adil? Ada orang tua yang keluarganya kaya raya dan harmonis. Banyak orang di luar sana bisa sukses karena bantuan orang tua mereka. Tapi kita? Mau makan aja susah.”

Kakak di sampingku menghela nafas. Kemudian kulihat dia menurunkan ponselnya dan menatapku lurus. “Dek, pada kenyataannya kita nggak bisa hidup dengan bergantung sama orang lain. Mama juga nggak mau bikin kita hidup susah. Karena itu kamu jangan ngomong kalau kamu mau lahir di keluarga kaya raya, Mama pasti sedih dengernya.”

Meski aku memahami maksud ucapan Kakak, sifat keras kepala mendorongku membalas, “Aku cuma mau bilang kalau privilege itu ada! Kayak kamu nih, waktu kecil kamu bisa ikut kursus gambar, banyak dijajanin, dikasih uang saku lebih besar dibanding aku, semua karena privilege kamu jadi anak yang paling besar! Makanya aku bilang seandainya kita kaya, seandainya dunia itu adil…”

Entah mengapa tiba-tiba aku jadi membandingkan nasib kami yang sebenarnya tidak berhubungan dengan topik pembicaraan itu. Kakak sebenarnya bukan orang yang sabar. Namun saat itu dia bisa menanggapiku dengan tenang. “Memang privilege itu ada. Tapi apa semua orang dengan privilege bisa bikin hasil yang maksimal? Kamu tahu nggak, kenapa aku ambisius pengin jadi juara kelas? Kenapa aku selalu belajar dan saingan sama anak-anak pinter yang ikut kursus di luar sana?”

Lihat selengkapnya