Mukaku berjerawat!
Pertama kalinya sebuah bintil kecil muncul di wajahku ketika menginjak bangku SMP. Perih, merah, dan sangat mengganggu! Tak hanya itu, rambut halus pun mulai tumbuh di sekitar area kelamin. Namun itu belum seberapa, karena pada suatu pagi aku menemukan sebuah kenyataan mengejutkan: ada noda darah pada celana dalamku.
Oh, masa puber telah tiba!
Aku belajar soal kondisi fisik itu ketika SD. Bagaimana menstruasi terjadi, bagaimana tubuh kita nantinya akan mengalami perubahan bentuk. Ternyata perubahan yang dimaksud adalah rasa perih yang menyiksa sekujur tubuhku, terutama perut! Aku tidak begitu terkejut ketika melihat darah menstruasi karena tahu bahwa itu gejala alami yang akan dialami oleh semua perempuan ketika beranjak remaja. Tapi rasa sakitnya? Duh, tidak sesuai bayangan!
Menstruasi hanya salah satu dari sekian gejala puber yang kualami. Sebenarnya, ada satu hal lain yang cukup menganggu keseharianku daripada datang bulan.
Yaitu sebuah fakta bahwa aku mulai menyukai seorang anak laki-laki di sekolah.
Namanya Georgio. Dia seangkatan denganku, namun berada di kelas yang berbeda. Tubuhnya tinggi semampai, tidak kurus dan tidak gemuk. Wajahnya cukup tampan, sifatnya sangat supel dan ramah. Aku sering memandanginya diam-diam ketika kami berpapasan di lorong kelas, atau ketika semua murid berkumpul di aula sekolah untuk mendengarkan pengumuman dari kepala sekolah, dan kebetulan barisan kelasnya selalu ada di samping barisan kelasku.
Jujur saja, aku sangat pemalu. Aku dikenal sebagai anak pendiam yang pintar dan tidak banyak bicara. Sehingga untuk berbincang dengan anak populer dan supel seperti Georgio terasa sangat mustahil untukku. Menjadi pengagum rahasianya saja sudah cukup menyenangkan, sehingga perasaan itu kupendam rapat-rapat tanpa pernah ada yang tahu.
Sampai suatu hari sekolah menyelenggarakan acara olahraga bersama. Tak pernah kusangka keajaiban akan terjadi. Aku dipasangkan dengannya dalam sebuah pertandingan balap lari!
Permainannya begini: kami disuruh mengikat satu kaki kami dengan tali rafia lalu lari bersama-sama ke garis finish. Entah bagaimana, aku memperoleh undian untuk lari bersamanya. Mungkin itu hadiah yang dikirimkan Tuhan untukku setelah sekian lama memendam perasaan secara diam-diam?
Aku merasa sangat antusias. Namun tentu saja seorang Kiara yang terkenal kalem di sekolah berusaha terlihat tenang di depan orang lain. Seperti biasa, Georgio sangat ramah dan menyenangkan. Dia menenangkanku sebelum perlombaan berlangsung, "Santai aja ya. Larinya nggak usah buru-buru, biar nggak jatuh."
Aku mengangguk sepakat dan menjawab dengan gugup, "Iya. Santai aja. Jangan buru-buru ya."
Setelah guru meniup peluit, kami mulai berlari. Seperti janji, kami berlari santai dan tidak terburu-buru. Georgio berkaki jenjang, tapi dia bersedia menyesuaikan langkahnya denganku. Tidak peduli pasangan lain berhasil mendahului. Kami hanya fokus agar tidak tersandung dan berlari dengan tempo yang sama.
Kekompakan itu sukses membawa kami mencapai garis finish dan meraih urutan kedua! Aku takjub karena tidak menyangka akan memperoleh peringkat kedua dengan tempo lari kami yang tak begitu cepat, namun ternyata kami tetap masih lebih unggul dibanding pasangan lainnya yang berlari dengan tempo tak seimbang hingga terjatuh. Georgio tampak senang dan mengangkat tangannya ke arahku untuk melakukan tos. Lantas aku segera menepuk tangannya dengan gembira.
"Hebat juga ya kita," ucapnya bangga.
Aku tersenyum lebar, terlalu gembira melihat ekspresi puasnya. "Iya, nggak nyangka ya, kirain bakal kalah," balasku.
"Thanks ya Kiara," ucapnya setelah kami melepas ikat tali pada kaki kami. Aku tercengang mendengarnya memanggil namaku. Kukira selama ini dia tidak tahu diriku siapa, ternyata dia tahu namaku! Sesudah kami berpisah, senyumku tak henti tersungging hingga jam pulang sekolah berbunyi. Temanku sampai heran dan bertanya apa yang terjadi padaku, namun aku yang pemalu tentu saja tak memberitahunya bahwa orang yang kutaksir ternyata mengenalku.
Rasanya hari itu adalah hari yang paling menyenangkan selama bersekolah di sana. Sepanjang perjalanan pulang, senyum kasmaranku masih tak kunjung putus karena tak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Sesampainya di rumah pun aku segera mendekam di dalam kamar dan berguling kegirangan di atas ranjang. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah awal mula yang bagus untuk bisa mengenalnya lebih dekat, dan aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan!
Namun ada kalanya harapan dan niat yang terbentuk secara spontan di satu waktu akan pudar di kemudian hari. Seperti itulah yang kurasakan ketika tiba di sekolah keesokan harinya. Boro-boro menyapa, melihatnya berjalan ke arah yang berlawanan denganku saja sudah membuatku gemetar! Sepertinya Georgio tidak melihatku karena sedang asyik mengobrol dengan temannya, sehingga kami tidak saling menyapa. Aku menyesal tidak punya keberanian yang cukup untuk menegurnya. Mungkin jika aku memanggil namanya, dia akan tersenyum dan membalas sapaanku. Oh, Kiara!
"Ki, menurut lu siapa anak cowok terganteng di angkatan kita?" tanya Vania, sahabatku ketika kami sedang makan siang di jam istirahat. Pertanyaan itu tentu saja langsung melahirkan jawaban otomatis di kepalaku, ‘Georgio!’ Tapi aku terlalu malu untuk jujur dan pura-pura berpikir. "Hm...siapa ya? Ardi mungkin? Atau...Georgio?"
"Oh ya? Ardi emang cakep sih. Georgio lumayan juga lah ya," timpal Vania enteng.
"Si Georgio tuh belum punya pacar, ya?" tanyaku sambil memainkan jari agar tidak terlihat gugup. Aku juga berpura-pura tidak peduli dengan memasang ekspresi datar di depan Vania.
"Kayaknya belum. Gue denger sih dia lagi deket sama Michelle. Tahu kan Michelle? Anak kelas sebelah."
Saat itu sosok seorang perempuan langsung terbayang di kepalaku. Michelle adalah siswi cantik yang cukup pintar dan populer di sekolah kami. Dia juga anggota OSIS, sama seperti Georgio.
"Oh, Michelle...emangnya mereka deket?" tanyaku hati-hati.
"Nggak tahu deh. Gue kan gak sekelas sama mereka," Vania meringis. "Georgio mah banyak yang naksir. Mungkin aja dia pacaran sama yang lain?"
Perkataan itu langsung saja menyurutkan semangatku. Georgio memang ditaksir banyak siswi perempuan, dan itu sudah menjadi rahasia umum. Jessica, Tarra, Lisa, banyak sekali gadis populer yang tertarik padanya. Mereka terang-terangan mendekati Georgio, bahkan para guru pun tahu dan sering menggodanya tentang hal itu.
Jika dibandingkan denganku, maka peribahasa ‘bagaikan langit dan bumi’ mungkin bisa berlaku. Wajahku jerawatan, kacamataku cukup tebal, dan aku sama sekali tidak populer. Bagaimana bisa Georgio tertarik padaku sementara banyak gadis cantik berseliweran di sekitarnya? Kepercayaan diriku sudah begitu rendah sejak awal aku menyukainya, dan aku pun tahu diri.
Karena itu aku memilih untuk sekadar menjadi pengagum rahasia dari jauh dan tidak bernyali mendekati Georgio. Tidak sampai hari di mana kami bertemu lagi di perpustakaan.