I Love You, Mama

delionquin
Chapter #12

Chapter 11: Nilai Jelek

Waktu bersekolah, kupikir aku anak yang cukup pintar. Nilaiku selalu di atas rata-rata, bahkan sering mendekati sempurna, dan aku selalu masuk ke dalam peringkat lima besar di kelas. Para guru dan teman-teman juga selalu memuji kepintaranku. Aku paling pandai di pelajaran hafalan dan bahasa, seperti pelajaran IPS, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Untuk pelajaran lain seperti Matematika, nilaiku masih terbilang cukup memuaskan.

Meski tidak mengikuti les pelajaran dan jarang belajar, nilai-nilaiku masih bisa bersaing dengan para murid unggulan di sekolah. Bahkan saat kelulusan pun, aku masuk peringkat sepuluh besar di seluruh angkatan.

Tapi anggapan itu mulai luntur ketika aku duduk di bangku SMP. Maklum, sekolah yang kumasuki saat SMP adalah sekolah swasta favorit yang terkenal. Selain banyak saingan, sekolah itu juga memiliki standar kelulusan yang tinggi. Aku yang dulu selalu santai jika ada ulangan kini mulai kesulitan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran yang tidak kusukai, seperti Matematika dan Fisika. Nilai matematiku perlahan mulai mendekati ambang batas dan cukup mengkhawatirkan.

Suatu hari, aku dipanggil oleh guru matematika pada jam istirahat. Nama guru itu Bu Siska. Begitu bertemu dengannya, dia langsung memandangiku dengan tatapan bingung sekaligus prihatin. Tanpa berbasa-basi, langsung saja dia menyerbuku dengan sebuah pertanyaan, “Kiara, kamu tuh kenapa sih nilainya merosot?”

Kedua mataku mengerjap bingung. Jika diingat-ingat, nilaiku belakangan ini memang menurun. Pertama, aku memang tidak suka pelajaran Matematika. Kedua, suasana di rumah kurang kondusif bagiku untuk bisa khusyuk belajar. Pertanyaan Bu Siska itu akhirnya kujawab dengan ragu, “Jujur saya nggak begitu ngerti materi yang sekarang, Bu.”

Bu Siska mengernyit, lalu menyodorkan sebuah kertas padaku. Tercoreng angka lima puluh berwarna merah di sisi kanan atasnya. “Tapi lihat nilai tugasmu yang terakhir. Kenapa di bawah rata-rata? Kamu kan bisa tanya teman-temanmu jika tidak mengerti. Waktu itu Ibu sempat sengaja kasih waktu kosong biar kalian bisa kerjakan tugas bareng-bareng di kelas. Cuma kamu loh, yang nilainya tidak mencapai batas. Kenapa kamu tidak kerjakan bareng teman yang lain?”

Aku terdiam, tidak punya alasan untuk mengelak. Bagaimana menjelaskannya pada Bu Siska? Bahwa aku tidak bersemangat mengerjakan tugas dengan teman-teman yang lain karena suasana hatiku sedang buruk? Bahwa aku pada dasarnya tak suka Matematika dan tidak peduli jika tidak memperoleh nilai bagus? Aku bukan anak yang ambisius, bukan juga anak yang penuh motivasi. Jadi bagaimana Bu Siska bisa mengerti apa yang kurasakan? Tentu dia hanya peduli dengan nilaiku, bukan dengan alasan mengapa aku tidak melakukannya.

Karena tidak memperoleh jawaban, Bu Siska hanya menghela nafas dan berkata, “Kamu harus ikut kelas tambahan ya. Karena nilai Matematikamu cukup mengkhawatirkan. Kalau begini terus, takutnya di rapor nilaimu di bawah rata-rata.”

Baiklah, aku tidak peduli. Aku hanya mengangguk dengan ekspresi datar, sebelum kembali ke kelas bertepatan dengan bunyi bel masuk kelas.

Bagiku mungkin itu isu biasa. Tapi tidak bagi mamaku. Begitu menunjukkan kertas ulangan itu, ekspresinya beranjak suram. Dia dengan khawatir menatapku, “Kok bisa kamu dapet nilai segini? Seumur-umur kamu kan nggak pernah dapet nilai jelek?”

Lagi-lagi pertanyaan yang sama dengan yang diajukan Bu Siska tadi siang. Aku hanya melengos masuk ke dalam kamar tanpa menjawab Mama. Rasa lelah sudah terlalu menguasai tubuhku, membuatku tak ingin pusing membahas masalah itu lagi.

Tapi Mama belum menyerah. Dia ikut masuk ke kamarku masih dengan memegang kertas ulangan yang kuberikan. “Ki, kamu ada kesulitan belajar? Mau ikut les pelajaran aja?”

Mendengar pertanyaan itu, rasa kesalku memuncak. Aku membalas dengan nada suara yang tinggi, “Nggak mau! Aku bisa kok belajar sendiri. Lagian emang Mama punya duit untuk bayar Kia kursus?”

Lihat selengkapnya