Aku memiliki seorang kakak perempuan yang cerdas. Sering juara kelas, sering menang perlombaan, aktif di organisasi sekolah, dan supel. Banyak guru mengenalinya dan tak sedikit jumlah sahabatnya. Keluarga kami sering membanggakannya, terutama Papa, yang selalu bercerita kepada banyak orang bahwa anak sulungnya sangat cerdas. Saking bangganya, Kakak sering ditawari beragam hadiah seperti komik, mainan, hingga didaftarkan kursus melukis seperti yang dia inginkan.
Berbanding terbalik denganku, si anak bungsu. Aku anak yang bisa dibilang cukup cerdas, namun malas belajar. Aku juga pendiam, tidak terlalu aktif di sekolah, dan tak punya banyak teman. Jurang perbedaan di antara kami membuatku terkadang merasa bahwa kami sering dibanding-bandingkan. Misalnya saja ketika Kakak juara pertama di kelasnya, Papa akan menyuruhku untuk mencontohnya dan menyebutku pemalas. Tak hanya Papa, terkadang orang-orang di sekeliling kami seperti para om dan tante akan memberikan uang saku yang lebih banyak kepada Kakak. Mereka menganggap Kakak lebih pintar dan lebih dewasa, sehingga layak mendapatkan uang jajan lebih.
Waktu kecil, perbedaan perlakuan itu membuatku iri. Kakak lebih sering mendapatkan atensi dibanding diriku. Hidup dalam bayang-bayangnya terkadang membuatku kesal. Misalnya seseorang akan mengingat nama Kakak, namun melupakan namaku meski orang itu mengenal kami berdua. Terkadang mereka akan antusias membicarakan Kakak, namun diam saja saat giliranku. Bukannya aku membenci Kakak, namun rasa iri itu tak terelakkan. Aku seperti anak yang tak dianggap jika berada bersamanya.
Terkadang aku pun merasa bahwa orang tuaku lebih memilih Kakak sebagai anak yang akan mereka banggakan kepada orang lain. Di saat seperti itu, aku akan menyingkir pergi agar tidak mendengarkan pembicaraan mereka sama sekali. Kupikir aku memang tidak punya pencapaian besar, tapi aku termasuk anak yang dikenal berkelakuan baik dan sering mendapat peringkat sepuluh besar di kelas. Namun sepertinya hal-hal itu masih belum cukup untuk bisa dibanggakan. Lambat laun aku tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri dan tertutup.
Perasaan dibanding-bandingkan itu semakin memburuk ketika kami beranjak besar. Berbeda denganku yang pernah mendapat nilai buruk hingga harus ikut remedial, Kakak sama sekali tidak pernah mendapat nilai di bawah rata-rata. Bahkan di saat anak-anak lain mendapat nilai jelek, hanya dia yang mendapat angka sempurna. Pada saat seperti itu Papa akan mengejekku dengan berkata, “Adek gimana sih? Jarang belajar, kerjaannya main terus. Lihat tuh si Kakak, nilaiinya tetap bagus walau sering main. Adek mah payah.”
Biasanya aku akan marah jika diejek seperti itu. Tapi saat itu Mama membelaku, “Ajarin dong kalau gitu. Lu kerjanya selingkuh doang, nggak pernah peduli sama pelajaran anak. Giliran sekarang ngeluh. Ke mana aja selama ini?”
Di saat seperti itu aku sadar bahwa dunia tidak sepenuhnya kejam. Aku punya Mama yang tidak pernah membanding-bandingkan kami, tidak seperti Papa. Baginya, kami bisa naik kelas saja sudah cukup. Kami tidak pernah dituntut untuk menjadi juara kelas seperti anak-anak lainnya. Kami hanya diminta bertanggung jawab dalam mengerjakan pekerjaan sekolah dan belajar saat ulangan tiba. Hanya itu.
Bukan berarti aku sendiri tidak pernah berusaha. Aku juga suka belajar jika pelajarannya menyenangkan. Misalnya, aku selalu mendapat nilai bagus di pelajaran Sejarah atau Kewarnageraan. Aku juga suka belajar seni dan Bahasa. Otakku tidak tahan memikirkan hitungan matematika dan rumus-rumus fisika yang rumit. Namun kebanyakan manusia di negara ini menganggap seseorang pintar jika mereka menguasai pelajaran eksak seperti Matematika atau Sains. Lambat laun aku jadi tak peduli dengan anggapan orang lain. Aku lebih senang menekuni hal-hal yang kusukai.
Kupikir orang lain akan membanding-bandingkan kami perihal pelajaran. Tapi ternyata tidak.