Betapa beruntung anak-anak yang tumbuh di keluarga harmonis.
Contohnya temanku, Elly. Dia memiliki ayah dan ibu yang akur. Mereka sering berjalan-jalan ke Eropa setiap tahun, dan tidak pernah satupun absen ketika ada acara sekolah yang mengharuskan orang tua untuk hadir.
Sekolahku terkadang mengundang orang tua murid untuk datang dan mendengarkan pengumuman, entah itu mengenai peraturan baru di sekolah, ataupun mengenai kegiatan besar yang akan diadakan dalam waktu dekat. Suatu hari, sekolah mengirim surat undangan untuk orang tua di hari kerja. Waktu kuberikan pada Mama, dia bilang dia bisa datang. Namun pada malam sebelum hari pertemuan, tiba-tiba Mama mengeluh tidak enak badan. Akhirnya Mama meminta Papa untuk menggantikannya. Tentu saja terjadi keributan di antara mereka karena Papa sempat menolak dengan beralasan sibuk. Namun pada akhirnya Papa kalah berdebat dan terpaksa hadir sebagai perwakilan.
Sesungguhnya aku merasa agak senang jika Papa yang datang sebagai perwakilan. Pertama, karena Mama tidak perlu repot. Kedua, karena aku merasakan sedikit perhatian darinya. Mungkin aku selalu bilang bahwa aku membencinya. Tapi jujur saja, sesekali aku ingin dia peduli dengan urusan sekolahku. Di dunia ini, anak mana yang sama sekali tidak menginginkan perhatian orang tuanya?
“Pertemuannya dari jam sembilan sampai jam sebelas. Papa jangan telat ya,” pesanku mewanti-wanti. Papa yang sedang sibuk mengamati ponselnya hanya manggut-manggut sebagai balasan, entah mendengarkan atau tidak.
Keesokan harinya, aku menjalani kegiatan sekolahku seperti biasa. Tiba-tiba pada jam pelajaran terakhir, wali kelas menyuruh kami pergi ke aula di mana para orang tua berkumpul. Tentu saja aku kaget, karena biasanya para orang tua diminta pulang setelah pertemuan berakhir. Namun ternyata hari itu berbeda, kami disuruh hadir di aula dan menemui orang tua kami masing-masing. Entah untuk apa.
Begitu tiba, semua anak langsung berpencar mencari orang tua masing-masing. Aku melirik ke sana ke mari mencari Papa, tapi batang hidungnya tidak tampak di manapun. Aku sampai mencari ke barisan depan, barisan tengah, hingga belakang, tapi tidak kunjung menemukannya. Merasa bingung, akhirnya aku duduk di deretan belakang, tempat di mana para murid yang senasib denganku berada. Hanya segelintir dari kami yang orang tuanya tidak hadir, entah pulang lebih dulu atau tidak bisa datang sama sekali.
Di saat mendengarkan kepala sekolah menjelaskan, aku merasa sedih. Terutama ketika melihat teman sekelasku memeluk papanya dengan erat. Ada pula yang bercanda dengan mamanya dan saling berangkulan. Situasi itu menyadarkanku bahwa mereka yang punya orang tua memang beruntung, tapi mereka yang punya orang tua penuh perhatian sangat amat beruntung. Aku merasa kesepian. Seandainya Mama yang hadir di sana, tentu dia tidak akan pergi lebih cepat dari yang seharusnya. Situasi itu membuatku merasa tidak dihargai dan dipedulikan.
Aku iri melihat teman-temanku yang tidak punya kesulitan ekonomi, yang tidak perlu memikirkan nasib keluarganya, yang tidak perlu cemas ditinggalkan orang tuanya, yang bisa belajar tanpa perlu frustasi dengan kondisi rumah yang kacau balau. Seandainya keluargaku seperti mereka, apakah hidupku juga akan berbeda?
Malam itu aku menumpahkan amarahku pada Papa. Aku tidak mau mendengarkan alasannya pergi lebih cepat karena harus kembali bekerja. Tidak, dia hanya tidak mau membuang waktu untukku. Dia bisa meluangkan banyak waktu untuk simpanannya, tapi tidak untukku. Mungkin baginya aku memang tidak sepenting itu?
“Kalau itu anak selingkuhan Papa, pasti Papa nggak akan pulang lebih cepat kan? Kalau gitu pergi aja dari rumah, nggak usah jadi papaku lagi!” sahutku marah. Aku tidak peduli akan sikapku yang keterlaluan, aku hanya ingin mengeluarkan uneg-unegku. Tapi seperti biasa, Mama yang terlalu baik hati berusaha menenangkanku dengan berkata, “Kia, sudah jangan marah-marah. Nanti kedengeran tetangga.”
“Biarin aja! Biarin semua orang denger! Emangnya ada ya tetangga yang belum tahu kalau keluarga kita hancur? Semua orang juga tahu Papa selingkuh!” hardikku.